Bendera Setengah Tiang

I Gede Luwih
Chapter #13

13. Duafa Kakek dan Cucunya

Di sebuah gubuk berbilik bambu yang hampir rapuh dan beratap daun buyuk yang tampak lusuh. Di samping gubuk ada jeding berdiameter 1 meter dan tinggi juga 1,5 meter. Gubuk dengan pintu dari gedek yang usang dan sekarang dibiarkan terbuka. Gubuk yang hanya satu ruangan untuk tempat tidur dan sekaligus dapur. Tempat tidur beralaskan tikar daun rontal dengan sebuah dipan bambu tanpa kasur. Ada lemari dari bilahan-bilahan bambu yang terlihat usang dan reot tanpa pintu setidaknya dapat menyimpan pakaian. Seorang anak kecil laki-laki usia 4 tahun berpakaian setelan motif kartun animasi Upin dan Ipin tapi nampak kumal sedang menangis sesegukan.

"Hiii iii hiii eheee " tangis rengekan anak kecil itu.

Di dapur yang menjadi satu ruangan dengan tempat tidur, tak ada kompor, adanya tungku dan kayu bakar. Perabotan dapur juga banyak yang masih sederhana dan tergolong tradisional. Kebanyakan dari tempurung kelapa dan beberapa gerabah tanah liat. Ada juga gelas-gelas dari bumbung. Hanya dandang, wajan kecil dan periuk saja dari aluminium. Seorang kakek dengan umur yang nampak uzur berperawakan kurus dan rambut pendek lurus telah memutih oleh uban. Kakek itu nampak sibuk memasukan kayu pada mulut tungku yang sedari tadi sudah menyala oleh beberapa kayu bakar. Di atas tungku ada sebuah dandang lengkap dengan kukusan dan kekep. Kakek sedang mengukus sesuatu.

Cucunya kakek masih menangis dan merengek di atas dipan. Pipinya sudah di banjiri air mata, ingusnya juga keluar dan sempat menutupi bibirnya yang mungil sampai sempat anak itu terdiam dari tangis seraya mengelap ingusnya dengan pergelangan tangannya. Selepas itu kembali anak itu menangis sesegukan dan memanggil kakeknya. Sementara kakeknya tengah sibuk di area dapur mengukus sesuatu.

"Eheee, ehiii Kek, kakek, lapar kek, lapar kek, ehiii" cucunya menangis dan merengek karena sedari tadi menahan rasa lapar.

"Bentar ya ,Nak. Ntar lagi mateng kok," sahut kakeknya sambil terus memasukkan kayu bakar pada mulut tungku agar terus menyala.

" Hiii, ehiii, lapar, lapar hiii" cucunya masih terus menangis sesegukan sambil merengek tapi lama kelamaan tangisnya serak dan memelan terus menghilang. Cucunya malah gemetaran diiringi kejang-kejang dan rebah.

"Gedubrak" suara cucunya mendadak rebah pada dipan.

"Aaa aaa" cucunya kembali menangis lebih kencang lagi apalagi tubuhnya tiba-tiba rebah dan membentur dipan.

Si kakek pun terkejut saat menoleh dan mendapati cucunya rebah pada dipan, menangis sejadi-jadinya seraya kakek menghampiri cucunya dengan langkah renta dan segera memangku cucunya di atas dipan.

"Nak, nak kamu kenapa, nak?" iba kakek sambil menitikan air mata.

"Hiii akit akit, lapar lapar hiii" tangis cucunya memelan di pangkuan kakeknya dan merasakan sakit pada tubuhnya juga rasa lapar yang menjadi.

" Iya Nak, iya, sabar dulu ya" bujuk kakeknya, pelupuk matanya kembali produksi air bening dan mengalirlah ke pipi keriputnya.

"Hiii lapar lapar" cucunya masih terus merengek.

"Seandainya ayah dan ibu kamu masih hidup, kamu tak akan seperti ini, tak akan kelaparan berhari-hari. Kakek sudah renta , tak kuat lagi bekerja" Kakeknya mengiba terbata-bata sambil mengelus rambut cucunya.

Cucunya tangisnya agak mereda, matanya sedikit meredup. Ia mulai lemas.

Si kakek malah merasa puyeng dan lunglai seolah tak ada tenaga lagi dalam tubuh rentanya. Penglihatannya pun kabur dan berkunang-kunang seraya ia mendadak rebah ke lantai tanah tersungkur dan menindih cucunya yang ikut terjatuh pada lantai.

"Aaaa aaa aaa" cucunya kembali menangis sejadi-jadinya dalam tindihan tubuh kakeknya yang kurus. Kakeknya malah tak tergerak sama sekali.

Bento dan Sebastian yang menyusuri ladang-ladang sedari tadi berburu. Bento masih waspada dengan ketapel dan melihat sekiranya ada burung-burung yang bertengger pada pepohonan yang tumbuh pada terasering ladang. Sementara tangan kirinya Sebastian sudah menenteng 2 ekor burung tekukur hasil buruan mereka, juga menenteng sekantong plasik batu kerakal yang masih tersisa sedangkan tangan kanannya sesekali menggamit buah kersen yang masih tersimpan dalam saku celana kumal. Sampai mereka tiba di sekitaran pekarangan gubuk tempat tinggal kakek dan cucunya. Sekitaran pekarangan gubuk kakek sangat tandus hanya ditumbuhi beberapa pohon mimba yang daunnya lumayan hijau. Bento melihat kelompok merbah cerukcuk bertengger pada ranting-ranting pohon mimba. Bento dan Sebastian melangkah mengendap untuk membidik salah satu burung merbah cerukcuk yang bertengger. Bento pun mendapat arah yang pas untuk melepaskan tembakan ke arah burung merbah cerukcuk. Didorongnya sekuatnya gagang ketapel dengan tangan kirinya kemudian tangan kanannya menarik tali karet ketapel yang sudah teramunisi batu kerakal, mata sebelah kanannya memicing, ia pun siap melepas tembakan dan,

Lihat selengkapnya