Bento dan Sebastian menyusuri jalan setapak dari perjalanan pulang sekolah. Kadang mereka melewati lembah, bebatuan maupun sungai intermitten. Sepatu-sepatu mereka sudah kotor oleh debu. Terik matahari cukup menyengat. Mereka pun tampak berpeluh. Murid-murid lain juga ada beberapa dari kejauhan menapaki jalan tersebut. Sesekali mereka beristirahat di bawah pohon yang rindang. Hanya pohon mimba yang berdaun hijau sisa pepohonan lainnya merangas. Terkadang Bento dan Sebastian dalam perjalanan pulang sekolah tak langsung ke rumah masing-masing. Mereka keluyuran terlebih dahulu, berburu di perbukitan, menyusuri sungai ephemeral yang sudah kering kerontang tak ada tanda-tanda air mengalir sama sekali. Mereka sering juga menyusuri sungai episodik karena di tepi sungai kadang tumbuh secara alami pohon buni. Mereka bisa memetik buah buni untuk sekedar menunda rasa lapar. Selain pohon buni ada juga pohon jamblang yang tumbuh alami sehingga mereka juga bisa memetik buah juwet. Selain pohon buni dan juwet. Ada juga pohon bidara di sekitar sungai maupun di sebuah perbukitan sehingga mereka juga bisa memungut buah bekul yang telah matang karena telah terjatuh dari pohonnya. Sesekali mereka juga melempar denga batu maupun kayu sehingga buah bidara yang telah matang bisa berjatuhan.
Bento dan Sebastian mengetahui adanya pohon-pohon itu setelah mereka sering berburu. Pohon-pohon itu tumbuh secara alami di lereng lembah, perbukitan maupun di tepi-tepi sungai. Semenjak itu mereka sering pulang telat ke rumah. Mereka kadang asyik berburu burung maupun memetik buah boni, buah juwet dan buah bekul. Alhasil, bibir mereka kadang memerah karena buah buni dan lidah menghitam oleh buah jamblang. Akan tetapi, mereka amat senang karena mereka bisa menikmati buah-buahan. Pikir mereka belum tentu pohon-pohon itu ada pemiliknya. Tumbuh secara alami dan di sembarang tempat dan jauh dari pemukiman warga. Kadang mereka sampai membawa kantong plastik untuk menyimpan buah-buah yang mereka petik. Setidaknya buah-buah itu cukup untuk memenuhi gizi mereka. Kalau tidak dapat hasil buruan burung, setidaknya mereka mendapatkan buah buni, buah jambu keling, dan buah bidara. Kalau dapat semuanya mereka serasa telah menjadi konglomerat saja. Seakan sudah terbebas dari kolong melarat. Buah-buah itu juga dapat disisihkan untuk anggota keluarga yang lain juga untuk teman-temannya di sekolah kalau dapat berlebih. Anak-anak lain yang satu perjalanan, mereka jadi ikut mencari dan berburu buah-buahan tersebut. Terkadang sampai berebut pula siapa yang sampai duluan pada pohon yang sudah diketahui tempatnya. Berebut tapi kadang saling berbagi, ada juga yng pelit, pelit juga karena mendapat sedikit. Tapi ada yang benar-benar pelit. Tapi buah-buahan itu juga ada masanya apalagi matangnya. Ada yang setengah matang sudah dipetik lama-lama juga tergerus dan menunggu untuk berbuah lagi.
Bento dan Sebastian berjalan beriringan. Sebastian di depan dan Bento mengintili di belakang. Mereka sama-sama membawa setangkai buah boni. Sambil berjalan mereka petik-petik satu persatu dan ngemilnya. Seragam sekolah mereka begitu lusuh apalagi sepatu mereka tampak begitu kotor. Tiba-tiba langkah Bento terhenti karena saat mendongak ke atas ia melihat sesuatu.
"Ian,Ian tunggu Ian!" jeritnya pada Sebastian untuk menghentikan langkah Sebastian yang berjarak beberapa langkah darinya. Ia pun sedikit berlari mendekat ke arah Sebastian yang sudah menghentikan langkah.
Sebastian agak terkesiap lalu menghentikan langkah mendengar jeritan Bento sembari berpaling menoleh ke belakang, Bento sudah berlari memdekatinya.
"Ada apaan sih?" tanyanya sambil menyomot buah boni pada tangkai yang dibawanya seraya memakannya.
"Ian, liat tu, tu tu tu" ujar Bento sambil mendongak ke udara sembari menunjuk-nunjuk sesuatu di angkasa.
"Apaan sih?" heran Sebastian karena belum melihat apa yang ditunjuk Bento.
"Itu lo, Ian" Bento menunjukkan lebih jelas pada Sebastian atas apa yang dilihatnya.
"Liat,ngga?" sambung Bento lagi meyakinkan.
Sebastian baru ngeh apa yang dilihat Bento. Ia pun mengangguk pelan sambil menggilas buah boni dengan giginya seraya menelannya dengan geregetan tapi sayangnya buah boni itu dirasakan kecut karena ia makan yang setengah matang, ia pun menampakan ekspresi kemasaman. Tapi, ia masih ingin konsentrasi dan melihat lebih jelas sesuatu yang ada di angkasa. Sebastian dan Bento saling memandang lagi, kemudian menoleh lagi sesuatu yang dilihatnya di udara tadi.