Ayah dan ibunya memulai dengan aktifitas barunya. Menjalani pekerjaan dengan porsinya masing-masing. Setidaknya mereka akan punya penghasilan. Walaupun penghasilan Ayahnya pastinya akan selalu dipotong oleh bossnya apalagi bulan pertama ini biaya sewa kamar kos dan keperluan sehari-hari masih ditanggung bossnya. Namun, itu tak menjadi masalah karena dipersilahkan membayar secara berangsur-angsur tanpa bunga juga. Dan itu sangat meringankan bagi ayahnya.
Boss ayahnya pernah singgah ke kosan mereka untuk berbincang-bincang dan memberi sejumlah uang dan sembako. Perawakan bossnya tinggi besar,kekar, gempal ,tanpa kumis , tanpa jenggot, tidak brewokan, cukurannya caper dan sering mendehem entah karena kebiasaan. Boss ayahnya juga bercerita tentang awal kisahnya merantau yang tak punya apa-apa dan tak punya siapa-siapa di kota. Ia tinggal di bedeng bersama istri dan anaknya yang masih kecil pada proyek bangunan yang disediakan mandornya. Istrinya juga menjadi peladen di proyek bangunan. Tak ayal anaknya yang masih kecil harus berkutat dengan debu material bangunan, tertidur di atas pasir maupun tripleks bekas bahkan tak jarang kalau mereka lalai karena sibuk fokus bekerja anaknya malah tak sengaja makan pasta semen maupun lepa. Ya itu pengalaman yang tergolong pahit buat mereka. Berkat kegigihan mereka yang terus berjuang dan bekerja keras perlahan hidup mereka menyicil sedikit demi sedikit dari bisa cicil sepeda motor, sewa kamar kos, ngontrak rumah maupun beli rumah. Tingkatan pada pengetahuan tentang konstruksi bangunan juga terus meningkat yang belajar secara otodidak walaupun bukan lulusan SD. Dari peladen kemudian belajar jadi tukang tembok dan tukang kayu lalu jadi kepala tukang belajar membaca gambar-gambar atau denah-denah bangunan kemudian belajar menjadi seorang pemborong walaupun jadi seorang pemborong, dia juga tetap aktif menjadi tukang sambil terus mengawasi para pekerjanya biar tidak ada yang leha-leha sebelum jam istirahat karena itu bisa mempengaruhi kinerja maupun hasil dari kerjaannya. Makanya jadi pemborong menurutnya harus tahu segala jenis kerjaan pada konstruksi bangunan bila tidak begitu bisa diolok-olok sama para tukang apalagi kalau tukangnya sungguh pemalas untuk kerjaan target sesuai gajinya sudah tekor apalagi membuat untung seorang pemborong, bisa-bisa pemborong merugi terus. Makanya bossnya menggenjot pekerjanya untuk kerja maksimal setidaknya sesuai target dan jangan juga kerja seperti cari muka baru ada boss kerja seperti semangat dan seakan pada sibuk semua tapi kalau bossnya bepergian apalagi tidak ada malah malas-malasan. Itu sih cari muka dan sungguh curang.
Bossnya dengan keberanian dan pengalaman yang sudah ia jelajahi entah rasanya pahit maupun manis, ia nekat menjadi pemborong walaupun pemborong pengngarap saja tidak langsung pemborong alat dan bahan bangunan. Syukurnya lagi jadi pemborong selalu untung karena punya pekerja yang rajin tak ada yang curang maupun bermalas-malasan entah ada atau tidak ada dirinya di lokasi proyek bangunan. Apalagi dia juga tahu dan piawai aspek maupun jenis pengerjaan di segala bidang konstruksi bangunan. Perlahan tingkat perekonomian juga beranjak meningkat, dirasa sewa kamar kos itu sungguh boros, ia putuskan untuk mengontrak tanah dan membangun rumah semi permanen. Setelah dirasa uangnya cukup dan bisa sekolahkan kedua anaknya ia putuskan lagi membeli rumah walaupun dengan menyicil sementara. Bossnya juga sering ngasi bonus pada para pekerjanya. Kisah singkat itu membuat Bento dan keluarganya begitu salut maupun terpukau seolah itu memberikan semangat yang membara dalam hidupnya untuk melakukan perjuangan tanpa memperdulikan hambatan atau tantangan hidup yang menghadang. Mereka akan berjuang pantang menyerah. Tak pulang sebelum bawa uang. Itu menjadi moto mereka.
Bento perlahan beban hidupnya serasa lebih ringan. Merasakan hidupnya lebih mending dari sebelumnya walaupun harus putus sekolah sementara. Namun, ia masih bisa belajar, buku-buku yang dihibahkan oleh Tiara cukup membantunya. Ia tak perlu lagi mencari air bersih untuk keperluan sehari-hari. Tinggal putar keran langsung air mengalir dengan derasnya. Tak juga harus mengirit air ketika mencuci maupun mandi. Dulu waktu di dusun, saat mencuci sampai tak ada istilah membilas cucian pakaian langsung dijemur walaupun busanya masih melimpah tapi sekarang mereka bisa sepuasnya melakukan pembilasan cucian. Tak jarang pula ia berlama-lama ketika mandi saking asyiknya dengan guyuran air dan kamar mandinya sudah ada jamban sehingga tak perlu lagi pergi ke sungai maupun ke ladang-ladang secara sembunyi-sembunyi ketika ingin buang air besar. Setidaknya mereka dapat menjaga kesehatan lingkungannya. Ia juga nampak lebih bersih dari dulu di dusun yang dekil maupun kumal. Kalau dia ke dusun lagi pastinya dirasakan beda banget dari yang dulu bahkan mungkin mereka tak mengenalinya lagi. Mungkin maafkan Bento yang dulu, pikirnya. Tapi berharap Tiara masih tetap bisa mengenalinya. Kalau tak mengenali juga ya terpaksa perkenalkan diri lagi lah.
Sambil menjaga adiknya di kamar kosan dia juga bisa membaca buku-buku pelajaran. Rencananya boss ayahnya juga akan memberikan TV bekas untuk ditaruh di kamar kosan biar Bento tak jenuh seharian di kamar terus bersama adiknya. Setelah adiknya bisa sekolah, Bento juga bisa sekolah lagi maupun sebelum dari itu juga bisa. Oleh sebab ibunya bisa bekerja di laundry sambil membawa anak tapi ibunya masih malu apalagi masih pegawai baru dan masih banyak yang perlu dipelajari. Akan tetapi, itu tak masalah bagi Bento, dia masih punya banyak waktu untuk belajar, lagian otaknya dia dirasakan pas-pasan , tidak juga pintar dan tidak bodoh juga, yang sedang-sedang saja lah. Bento juga setidaknya bisa makan lebih baik dari dulu di dusunnya. Ya angan-angannya secara perlahan bisa diangsur untuk mencapainya pelan-pelan. Apalagi kalau Ayah dan Ibunya gajian, pastinya Ibunya bisa masak makanan yang enak-enak , berasa telah menjadi orang kaya baru aja, seakan sudah lepas dari pasungan kolongmelarat tapi bagaikan menjelma menjadi konglomerat. Bisa makan makanan yang enak atau lezat saja setiap hari sudah merasa seperti konglomerat apalagi sudah menjadi konglomerat asli dengan fasilitas yang serba mewah. Bagaimanna ya takaran kebahagiaannya, 100%, 1000% atau tak terhingga. Ada juga yang bilang bahagia itu sebenarnya sederhana. Apapun tolak ukurnya, yang jelas saat ini Bento merasa sangat senang dan bahagia. Apalagi ayahnya gajian setiap 2 minggu sekali, setidaknya kesehariannya selalu pegang uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari terutama bahan makanan, ayahnya juga bisa kasbon pada bossnya kalau tidak pegang uang sama sekali sebelum waktunya gajian. Gimana tidak merasakan hidup enak dari yang dulu waktu di dusun. Serasa lengkap kebahagiannya lagi ketika boss ayahnya beneran memberikan TV bekas karena boss ayahnya telah memiliki TV baru jenis LED dan TV bekas itu sering tak terpakai walaupun hanya TV tabung bekas tapi kelihatannya lebih bagus dari kepunyaan Pak Kadus di dusunnya dan layarnya juga lebih lebar. Baru tahu juga Bento ukuran dan jenis TV ternyata berbeda-beda. Dan di kota tak perlu pakai antena parabola lagi pakai antena biasa saja gambarnya sudah jernih dan banyak pula menangkap saluran TV swasta yang ada di negeri ini. Bento jadi bisa nonton TV setiap saat bahkan tak jarang begadang juga saking asyiknya nonton TV.
Suatu sore, Bento disuruh belanja minyak goreng dan deterjen oleh Ibunya di sebuah minimart ujung jalan. Karena di sebuah warung yang dekat dengan kosannya minyak gorengnya habis. Ibunya sempat ke sana setelah pulang kerja. Jarak minimartnya lumayan jauh. Ibunya ingin memasak sedangkan Ayahnya belum datang dari kerja. Bento mengiyakan setelah mendapat ancer-ancer dan nama minimartnya. Bento yang berjalan kaki di sebuah gang dan melewati sebuah perumahan, ia begitu terpana dengan sebuah rumah yang dilihatnya seperti istana, begitu megah dan mewah pastinya pemiliknya seorang konglomerat. Bento tampak agak mengendap-endap seakan ingin mendongak keadaan di dalam rumah. Tiba-tiba pintu gerbang rumah yang berwarna kuning keemasan tergeser, ada seseorang dari dalam rumah menggesernya. Bento agak terkesiap dan melongo,
"Ibu? Ibu Ian tinggal di rumah ini? " Bento terperangah ternyata Ibunya Sebastian dari dalam rumah yang membuka pintu gerbang. Bento pun salim pada Ibunya Sebastian sambil semakin melirik dan terkesima dengan rumah mewah bak istana.
"Eh, Nak Bento, kamu bisa aja . Ibu cuma kerja di rumah ini, Nak Bento sendirian aja ni? Ayah dan Ibu mana? Jangan keluyuran lo, nggak baik ketemu orang jahat nanti" sahut Ibunya Sebastian nyerocos menampakan kecerewetannya.
"Ibu nyuruh aku beli minyak goreng, minyak di warung dekat sana habis!" jelas Bento.
"Oh gitu, ya udah bareng sama Ibu aja yuk, nanti kamu malah nyasar lo kan repot, Ibu juga kebetulan mau beli sesuatu ni!" ajak dan berondong kata Ibunya Sebastian.
"Iya deh Bu kalo gitu!" Bento mengiyakan sambil mengangguk seraya mereka berjalan berdampingan.
"Hebat ya Ibu, bisa tinggal di rumah seperti istana!" celetuk Bento dalam langkah bersama Ibunya Sebastian.
"Tapi kan Ibu cuma jadi babu di sana bukan pemilik rumahnya!" balas Ibunya Sebastian sambil menghela nafas dan menyunggingkan senyum.