Bento dan adiknya duduk termangu di suatu sore dekat bantaran sungai. Air sungai mengalir lamban. Airnya keruh,warnanya juga coklat dan menghitam, ada juga sampah-sampah yang hanyut. Tapi, ada juga yang memancing pada sungai entah sekedar hobi untuk meluangkan waktu senggang maupun memang mencari ikan untuk lauk pauk. Entahlah, Bento tak mengerti. Bento sesekali menoleh adiknya yang asyik makan cemilan. Bento membelikan itu tadi di warung ketika menuju tepi sungai. Bento dan adiknya merasa bosan dan sumpek berada di kamar maupun di rumah boss mendiang ayahnya. Makanya ia putuskan mengajak adiknya jalan-jalan melintasi tepi sungai apalagi dekat dengan rumah boss mendiang ayahnya. Kebetulan ia waktu ini diberi sejumlah uang oleh keluarganya Sebastian dari ayah, ibu dan kakak-kakaknya Sebastian. Ya setidaknya ia dapat mengajak adiknya beli cemilan biar tidak rewel menanyakan Ayah dan Ibunya. Entah dengan cara apa lagi dia harus menjawab kepada adiknya tentang Ayah dan Ibunya. Sampai kapan dia terus-terusan mengelak dan mengarang pada adik perempuannya itu.
Sementara adiknya tengah asyik menikmati makanan ringan, Bento menerawang jauh. Ia mendadak kangen dengan dusunnya. Kangen dengan kawan-kawan di kelas dan sekolahnya. Lebih-lebih rindu pada Tiara. Apa mereka masih bisa datang ke sekolah? Apa diliburkan juga dan belajar di rumah maupun dari rumah. Apa bisa belajar dari rumah ataupun belajar secara online? Bagaimana mereka menyikapinya itu maupun mengakalinya? Apa guru-guru yang datang ke rumah masing-masing murid? Bagaimana dengan Ibu Tami yang hanya sebagai guru honorer? Kalau mengajar secara online apa hanya habis gajinya untuk beli paketan kouta internet saja tapi berhubung juga muridnya jarang bawa HP android lagi pula sinyal juga susah. Jadi pilihan pastinya setiap guru mendatangi murid-murid ke setiap rumah-rumah untuk mengajar. Atau mereka disuruh belajar di rumah aja. Ya mungkin kebanyakan bermainnya daripada belajarnya bahkan lebih sering membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumah.
Bagaimana dengan Si Kakek dan cucunya yang sekarang menempati rumahnya Bento di dusunnya. Apa hidupnya lebih layak setidaknya tidak makan nasi aking lagi lebih-lebih memasak pasir dan kerikil yang tentunya tidak akan pernah mateng-mateng berapa lama pun dimasak. Bento kangen pada Si Kakek dan cucunya, rindu teman-temannya, Ibu Tami maupun Tiara. Ingin dia mencurahkan isi hatinya dan cerita kehidupannya yang sekarang begitu naas tak punya orang tua lagi sedangkan dirinya dan adiknya belum bisa melakukan apa-apa apalagi bekerja untuk bisa menghasilkan uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari buat mereka. Akankah mereka menjadi gelandangan dan pengemis di kota ini?
Bento mengajak adiknya untuk beranjak bangun dari bantaran sungai kemudian melanjutkan langkah buat jalan-jalan. Kali ini mereka berjalan gontai melalui pedestrian jalan raya. Lalu lintas agak sepi tak seperti biasanya sebelum adanya virus corona. Kalau sebelum virus corona merebak pastinya sudah ramai dan menimbulkan kemacetan. Apalagi ketika jam masuk kerja dan jam pulang kerja karyawan pastinya sudah membludak kendaraan dan orang-orang di jalan raya. Bunyi klakson kendaraan seolah tak ada jedanya. Ada juga yang ribut berteriak dan mengumpat entah karena terserempet atau tersenggol maupun karena menganggap orang lain membahayakan dirinya. Emosian, kadang yang keliru juga membela diri seakan tak mau disalahkan gitu aja bahkan mungkin menganggap dirinya benar.
Sekarang jalanan menjadi agak menyepi hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Itu pun kebanyakan membawa barang-barang dan para ojol hanya sebagian saja yang mengemudikan mobil pribadi. Ada seorang pengendara sepeda motor matic mengangkut beberapa barang yang dibonceng dengan kantong kain besar kanan-kiri berisi barang belum lagi di atas jok belakangnya juga ada barang sejajar dengan punggungnya maupun di depannya di sela sayap dan jok tempat duduknya juga diisi barang, tampaknya berprofesi sebagai kurir. Sepeda motornya melaju sedang tapi tiba-tiba ia dan sepeda motornya kehilangan kendali keseimbangan, pengendara terkesiap gelagapan motornya pun oleng dan menabrak pohon asem besar yang tumbuh di pinggir jalan raya. Pengendara itu pun terpelanting terlempar dan menubruk sebuah truk lagi yang melintas begitu kencang. Sopir truk sepertinya tak bisa mengendalikan remnya akibat terlalu kencang dan menabrak tubuh pengendara yang terpelanting sampai menyeret tubuh mengendara beberapa meter. Kejadian naas itu sontak mengundang perhatian warga di sekitar kejadian dan pengendara lain untuk berhenti maupun ada yang cepat-cepat mengawasi dan menolong pengendara yang menubruk pohon asem hingga terpelanting dan tertabrak truk pula. Sopir truk sudah panik dan takut menjadi amuk warga, ia pun langsung turun dari truk dan menjelaskan. Para warga sudah meriuh dan ribut kasak-kusuk ada juga yang meracau. Usut punya usut Si Pengendara lehernya terjerat tali layangan putus yang melintang dan tidak ngeh ada tali layangan melintang karena warnanya yang transparan. Bento dan adiknya yang melihat kejadian begitu terkesiap dan ngeri. Ia pun mengajak adiknya berpaling dari tempat kejadian karena begitu takut melihat darah-darah yang berceceran maupun melihat luka-luka dari Si Pengendara motor yang tertabrak. Mereka cepat-cepat berusaha meninggalkam tempat itu karena tak kuasa melihat mayat Si Pengendara yang penuh luka dan baluran darah. Melihat luka sendiri saja kadang Bento ngeri dan takut apalagi melihat luka orang lain, bulu kuduknya pastinya berdiri merasakan kemerindingan. Ya mungkin dia memang tidak cocok jadi perawat maupun seorang dokter. Ngapain mikirin jadi perawat atau dokter nasib hidupnya bisa panjang lagi juga masih samar-samar apa bisa melanjutkan episode selanjutnya ataupun akan segera tamat.
Bento begitu rindu akan suasana dusunnya. Rindu bermain-main layang-layang di musim kemarau. Ia bisa leluasa menerbangkan layang-layang di tanah lapang ladang yang luas di musim kemarau. Tidak seperti di kota, tak ada ada tanah lapang, perumahan begitu padat, anak-anak bermain layang-layang kadang di jalanan yang bisa membahayakan dirinya maupun orang lain. Terkadang layangan mereka nyangkut di kabel tiang listrik bahkan benang layangan bisa menjerat leher pengendara motor hingga mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Bento ingin rasanya kembali ke dusunnya. Entah tinggal bersama Si Kakek dan cucunya. Makan ala kadarnya tidak apa-apa mau singkong atau apalah. Ia juga ingin berburu lagi. Berburu burung. Mencari buah bidara, buah boni, buah jamblang maupun buah lantana atau buah tembelekan. Ia kangen makan buah-buahan itu. Kangen juga bersama Tiara mencari buah-buahan di ladang milik Tiara. Kangen mencari mangga dan jambu. Kangen membantu Tiara memungut kacang mede maupun menebas buahnya dengan bambu yang bijinya sudang kering dan dagingnya sudah menguning dan lembek. Tak jarang dia makan daging buah mede yang telah menguning maupun kemerahan dirasakan berair ada rasa manis dan ada masam-masamnya. Tak ayal mereka sering membuat rujak dari daging buah mede.Sedangkan biji atau kacang medenya yang sudah mengering mereka kumpulkan untuk ditimbang dan dijual oleh Tiara. Ia juga rindu makan buah delima dengan biji-biji merah merekah. Ia juga rindu meneriaki pesawat terbang di dusunnya ketika melihat kapal terbang tinggi di angkasa. Dia dan anak-anak dusun lain memburu maupun mengejar sambil mendongak mengawasi pesawat terbang kalau sudah mendengar derungan kapal terbang, mereka pun mengejar dan berkoar sambil meminta,
" Kapal !!! Minta uang! Kapal!!! minta uang" pekik sambil pinta mereka berkali-kali.
Bento agak sedih kalau mengingat masa-masa itu. Dan sekarang ia dan adiknya bingung terutama dirinya begitu galau tingkat akut. Adiknya masih belum tahu apa-apa belum mengerti apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Apa mereka masih bisa tetap tinggal di rumah boss Ayahnya. Mereka mau menjadikan mereka anak angkat. Entahlah. Apa mereka akan dititipkan di panti asuhan berkumpul bersama anak-anak malang yang lain yang tentunya mempunyai cerita kepahitan versinya masing-masing. Ia dan adiknya tidak mungkin bisa bergantung terus pada Boss mendiang Ayahnya, juga pada keluarganya mendiang Sebastian. Mereka juga belum tentu selamanya bisa bersikap baik. Apakah dia dan adiknya akan merepotkan mereka dan membebani mereka. Apa kehadiran dia dan adiknya hanya akan menyusahkan mereka. Sampai sempat dia berpikir kenapa dia dan adiknya tidak sama-sama terjangkit wabah penyakit Covid-19 bersamaan dengan Ayah dan Ibunya ketika itu. Kalau sudah terkontaminsasi sekeluarga saat itu mungkin mereka tidak terpisahkan seperti sekarang ini. Mungkin mereka masih tetap bersama saat ini di akhirat bila maut sama-sama menjemput mereka sekalian .