Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, adalah salah satu wilayah paling tandus yang pernah Boe datangi. Tanahnya keras, pecah-pecah seperti kulit tua yang terlalu lama terpapar matahari. Udara di siang hari bisa menusuk sampai ke tulang, bukan karena dingin, tapi karena panasnya terlalu lama menempel di kulit. Boe sudah dua minggu di lokasi itu, memimpin survei dan mempersiapkan pembangunan bendungan yang diharapkan akan mengubah hidup ribuan warga.
Basecamp proyek sederhana saja. Hanya beberapa tenda terpal yang berdiri tak jauh dari sebuah sumur tua yang sudah lama tak digunakan warga. Sumur itu berada tepat di belakang tenda logistik. Tak ada yang berani mendekat setelah matahari tenggelam. Kata warga, sumur itu punya sejarah. Tapi Boe, dengan cara berpikir seorang insinyur sipil, awalnya menganggap itu hanya cerita lama yang dibesar-besarkan oleh rasa takut dan mitos lokal.
Namun, beberapa malam setelah survei awal dilakukan, sesuatu mulai terasa janggal. Suara itu datang pertama kali saat Boe sedang menyelesaikan laporan teknis di laptopnya. Malam sudah larut, suara jangkrik tak berhenti, dan aroma tanah kering bercampur dengan angin malam menyusup ke dalam tenda. Lalu, seperti bisikan yang terlalu jelas untuk diabaikan, terdengar suara seorang perempuan dari arah sumur. Suaranya dalam, lembut, tapi penuh beban.
"Air bukan sekadar benda. Ia nyawa, ia berkah, ia luka yang belum disembuhkan."
Boe menoleh cepat ke arah suara itu. Tak ada siapa-siapa. Ia keluar dari tenda, membawa senter, dan berjalan perlahan menuju sumur tua itu. Cahayanya menyorot batu-batu di sekitar sumur, lalu ke dalam lubangnya yang gelap. Tak ada apa-apa. Hanya angin. Tapi suara itu terasa nyata, seperti baru saja dibisikkan di telinganya.
Besok paginya, Boe diam saja. Ia tak cerita pada siapapun. Dalam pikirannya, itu mungkin hanya halusinasi. Mungkin ia terlalu lelah, atau pikirannya sedang terlalu fokus pada pekerjaan sampai menimbulkan hal-hal aneh.
Namun suara itu kembali datang malam berikutnya. Dan malam setelahnya. Kadang terdengar isak tangis, kadang hanya satu kalimat yang diulang-ulang, "Air itu hidup. Tapi hidup kami diambil bersamanya."
Boe mulai merasa ada yang tak beres. Terlebih ketika warga desa mulai cerita hal yang sama, tanpa ditanya. Seorang ibu tua bernama Mama Mesi yang datang membawa makanan ke basecamp bercerita pelan sambil duduk di atas tikar pandan.
"Dulu, sumur itu dipakai banyak orang. Tapi pernah satu musim kemarau yang sangat parah. Banyak sawah gagal panen. Ternak mati. Warga kelaparan. Ada satu perempuan, namanya Ana. Suaminya pergi ke kota, katanya cari kerja, tapi nggak pernah balik. Ana ditinggal sendiri dengan tiga anak. Ia berjuang sendirian, tapi akhirnya menyerah. Malam-malam, ia masuk ke sumur itu. Nggak ada yang tahu sampai pagi. Cuma selendangnya yang ngambang di air."