Bendungan Harapan

Eko Broto Budiarto
Chapter #4

Bab 4 Truk Air dan Tetes Air Mata

Matahari pagi di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena cuacanya berubah, tapi karena satu harapan kecil akhirnya bergerak di jalanan berdebu menuju desa-desa yang kehausan. Truk air bersih yang diminta Boe akhirnya datang. Warnanya putih dengan tulisan merah samar di sisi kiri badan kendaraan: "Bantuan Kemanusiaan – Dinas Sosial Kabupaten Belu". Mesinnya meraung pelan, dan di belakangnya, suara anak-anak mulai menggema. Mereka berlari, membawa ember, jeriken, bahkan botol-botol bekas air mineral. Semuanya berharap dapat bagian.

Boe berdiri tak jauh dari tempat truk berhenti. Kakinya sedikit tenggelam di tanah berdebu. Keringat menetes di pelipisnya, bukan karena lelah, tapi karena lega. Ia tahu, ini bukan solusi permanen. Tapi ini awal. Sebuah tetes kecil di padang gersang yang bisa memercikkan harapan.

Nara datang tergopoh-gopoh, mengikat rambutnya ke belakang sambil mengatur napas. “Mas Boe, saya bantu ngatur antrian ya. Tadi anak-anak hampir rebutan ember.”

Boe mengangguk. “Iya, bantu kasih tahu biar mereka sabar. Kita atur yang tua dulu, lalu yang bawa anak-anak, terakhir baru yang lain.”

Nara tersenyum tipis, tapi matanya menyimpan banyak hal. Sambil melangkah ke kerumunan, ia berteriak pelan namun tegas, “Ibu-ibu yang punya anak kecil ke depan dulu ya! Bapak-bapak tunggu giliran!”

Anak-anak tetap antusias. Beberapa malah menjadikan ember mereka mainan. Satu bocah bernama Akil, yang kakinya pincang sedikit karena demam tinggi waktu bayi, malah duduk di embernya sambil tertawa. Boe memperhatikan dari jauh. Lalu ia mengalihkan pandangan ke Nara yang tak lelah membantu.

Di sela sibuknya membagi air, Nara sempat mendekat lagi. Dengan suara pelan, ia bilang, “Mas, ini warga sini bukan cuma haus air. Mereka juga haus pengakuan. Mereka udah terlalu sering diabaikan.”

Boe menarik napas dalam. Kata-kata itu menggema dalam benaknya lebih keras dari raungan mesin truk. Ia tahu, kekeringan ini bukan cuma karena curah hujan rendah. Ini kekeringan karena perhatian. Karena terlalu banyak janji yang nggak ditepati. Karena desa ini hanya jadi nama di daftar paling bawah di tumpukan berkas pembangunan.

Setelah truk selesai membagi air dan kembali ke kota, Boe masuk ke dalam tenda basecamp. Ia buka laptopnya. Bukan untuk mengisi laporan progres proyek, tapi untuk menulis email. Ia tahu, kalau hanya mengandalkan anggaran yang sudah disetujui pusat, maka bantuan air hanya akan datang sesekali. Sementara warga butuh setiap hari.

“Dear Sahabat, Aku di Belu sekarang. Desa ini kering bukan hanya karena mata airnya berhenti, tapi karena mata hati kita juga ikut kering. Kalau kamu bisa bantu, tolong bantu. Bisa logistik, bisa air, bisa dukungan moral. Aku akan kirim koordinat dan daftar kebutuhan utama. Doakan juga, ya…”

Email itu dikirim ke beberapa temannya di Jakarta. Ada yang bekerja di NGO, ada yang di kementerian, ada yang dulu seangkatan kuliah di teknik sipil dan sekarang kerja di BUMN. Ia tidak berharap semua langsung respon. Tapi minimal, ia tahu, dia sudah berbuat sesuatu.

Lihat selengkapnya