Malam itu, angin dari arah bukit turun pelan-pelan, menyapu tenda-tenda proyek yang berdiri seadanya di pinggir Desa Leosama. Lampu petromax menyala temaram di meja kerja Boe. Dari balik kelambu tenda utamanya, samar terdengar suara jangkrik bersahut-sahutan. Di kejauhan, seekor anjing kampung menggonggong dua kali, lalu diam. Di depan Boe, laptop tua menyala. Layarnya buram, tapi masih cukup terang untuk menuliskan satu nama yang sejak tadi memenuhi pikirannya: Septa.
Jari-jari Boe tak langsung menari di atas keyboard. Dia menatap kosong layar itu cukup lama, seolah menunggu izin dari semesta, atau mungkin dari hati yang belum juga sembuh sejak kepergian perempuan itu. Akhirnya ia mulai mengetik.
"Septa..."
Tak ada sapaan formal. Tak ada kalimat pembuka bertele-tele. Cukup namamu, dan dunia rasanya sudah runtuh kembali. Kamu tahu, tempat ini kayak hatiku. Kering. Gersang. Tapi anehnya, aku ngerasa dekat sama kamu di sini. Di balik tanah retak dan langit yang jarang meneteskan hujan, aku malah ngerasa kamu nggak jauh. Mungkin karena tempat ini juga sedang berjuang seperti aku. Berjuang untuk bertahan, untuk percaya lagi.
Sejak kamu pergi, aku sering merasa proyek-proyek ini bukan cuma soal beton, pipa, atau kontrak pemerintah. Kadang aku merasa mereka kayak jiwa-jiwa yang butuh dijahit. Sama seperti aku. Dan jujur, di Leosama ini, aku nemuin semacam pantulan luka yang pernah aku punya. Tapi bedanya, luka mereka masih terbuka.
Hari ini, anak-anak datang lagi ke basecamp. Mereka nggak nanya soal kapan bendungan selesai. Mereka cuma duduk, nungguin air menetes dari keran darurat yang kita pasang dari tampungan hujan. Kamu tahu, Septa, mataku basah waktu ngelihat anak kecil bawa gelas plastik pecah, nungguin air satu-satu jatuh ke dasar gelas. Kadang, satu tetes butuh waktu satu menit. Tapi mereka nunggu. Sabar. Nggak marah. Dan waktu akhirnya air itu cukup buat mereka teguk, mereka senyum. Senyum yang bikin aku malu sama keluhan-keluhan kecilku sendiri.