Bendungan Harapan

Eko Broto Budiarto
Chapter #6

Bab 6 Pendeta, Dukun, dan Imam Masjid

Matahari belum tinggi saat tiga orang tokoh masyarakat datang ke tenda utama proyek bendungan di Desa Boba Nasi, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Di antara jejeran alat berat dan peta topografi yang menempel di dinding terpal, mereka masuk perlahan, seperti membawa sesuatu yang lebih berat dari sekadar tubuh mereka sendiri. Pendeta Yohanes dengan kemeja putih bersih, Dukun Anan dengan sarung dan tasbih kayu yang sudah kusam, dan Pak Imam Safar yang membawa kitab kecil dan segelas air.

Boe yang sedang menyusun data debit air sempat bingung saat melihat mereka duduk diam di bangku panjang proyek, berhadap-hadapan, seperti rapat kecil yang tidak pernah dijadwalkan.

“Selamat pagi, Bapak-Bapak,” sapa Boe sambil mendekat. “Ada yang bisa saya bantu?”

Pendeta Yohanes menatapnya lembut. “Kami mau bicara baik-baik, Pak Boe. Soal proyek ini.”

Pak Imam Safar menambahkan, “Kami bertiga sudah berbincang. Kami sepakat, proyek ini perlu dibersihkan dulu.”

Boe sempat tertawa kecil. “Dibersihkan gimana maksudnya? Ini udah kita land clearing kemarin, Pak. Udah dicek juga tanahnya.”

Dukun Anan, yang dari tadi diam sambil mengelus janggut, akhirnya bicara. Suaranya dalam dan berat.

“Tanah ini menyimpan kisah, Pak Boe. Bukan hanya lumpur dan pasir. Tapi arwah. Jiwa-jiwa yang belum pulang. Mereka belum tenang. Kalau nggak dibersihkan secara adat, airnya nanti nggak bakal ngalir. Kayak tersumbat oleh luka lama.”

Boe mulai serius. Ia tahu, di tempat seperti ini, kadang yang paling logis pun harus siap mendengarkan hal yang di luar nalar. Ia memandang satu-satu ketiga tokoh itu, lalu duduk di bangku kayu, ikut menyimak.

“Kalau saya ikut ritualnya, proyek ini boleh jalan?” tanyanya hati-hati.

Pendeta Yohanes mengangguk. “Dengan satu syarat. Jangan angkuh. Dengarkan suara dari tanah ini.”

Malamnya, angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Boe mengenakan pakaian hitam yang disiapkan oleh warga. Di tengah lapangan kecil dekat lokasi sumur tua yang dulu jadi sumber air utama kampung, warga sudah berkumpul. Mereka membawa dupa, air kelapa, daun sirih, dan bunga. Lampu petromaks menerangi wajah-wajah penuh harap dan cemas. Anak-anak disuruh tetap di rumah, karena ritual ini bukan tontonan biasa.

Lihat selengkapnya