Bendungan Harapan

Eko Broto Budiarto
Chapter #7

Bab 7 Harapan yang Mengalir

Tiga bulan sudah berlalu sejak hari pertama Boe dan tim memulai pembangunan bendungan di Desa Leosama, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Di tengah bukit berbatu dan padang ilalang yang kering, perlahan wajah alam mulai berubah. Bekas alur sungai yang dulu hanya menyimpan kerikil dan tulang-tulang ranting, kini mulai mengalirkan arus kecil berwarna bening. Orang-orang menyebutnya air pertama, air yang menandai harapan.

Pagi itu, embun belum sepenuhnya hilang dari daun-daun singkong yang ditanam warga di pinggir lahan. Boe berdiri di sisi tebing, menatap ujung bendungan yang mulai kokoh, ditemani suara palu, beton molen, dan teriakan sopir truk yang mengatur jalur masuk. Tapi bukan suara itu yang menggetarkan hatinya. Yang paling menyentuh adalah suara tawa anak-anak yang mandi di pinggir genangan air yang mulai meluas. Ada keceriaan yang tak bisa dibeli oleh proyek besar sekalipun. Mereka menyiram-nyiramkan air ke udara, menampung dalam ember kecil, bahkan beberapa sudah mulai berani belajar berenang. Pemandangan itu membuat mata Boe terasa panas. Bukan karena matahari, tapi karena ada rasa yang tak bisa dijelaskan.

Warga desa yang dulu hanya bicara soal bertahan hidup, kini mulai membicarakan musim tanam. Boe melihat beberapa warga menenteng bibit jagung dan padi. Mereka mulai menyiapkan lahan, meratakan tanah, dan menyusun kembali harapan mereka di atas aliran air yang baru lahir. Tidak lagi sekadar menunggu bantuan, mereka mulai percaya diri untuk mandiri. Boe tahu, ini bukan hasil kerja satu orang. Ini adalah hasil kerja keras semua pihak—warga, tukang, relawan, dan bahkan makhluk-makhluk tak terlihat yang ia hormati sejak mengikuti ritual pembersihan tanah proyek beberapa waktu lalu.

Suatu siang, Nara datang ke tenda proyek dengan membawa termos es dan dua gelas plastik. “Mas Boe,” katanya sambil senyum cerah, “ini es kelapa. Dapat dari rumah Mama Tia. Katanya buat Mas yang kerja tanpa kenal waktu.” Boe mengambil satu gelas dan duduk di bawah pohon asam tua di dekat tenda. Nara ikut duduk di sampingnya. Mereka diam sejenak, menikmati angin yang mulai terasa lembap.

“Mas, warga sini udah ngobrol. Mereka mau kasih nama bendungan ini ‘Harapan’. Gimana menurut Mas?”

Boe menoleh pelan. Matanya menatap ke arah aliran air yang mengalir perlahan di bawah bendungan. Ia terdiam sebentar sebelum menjawab, “Itu nama yang bagus. Sangat bagus.”

Nara tersenyum. Ada rona puas di wajahnya. Tapi sebelum pergi, ia sempat berkata dengan nada bercanda, “Mas tahu nggak? Banyak perempuan di sini yang naksir Mas, lho.”

Boe mengangkat alis, lalu senyum simpul. “Tapi hati saya masih di tempat yang sama…”

Lihat selengkapnya