Hari itu, langit Desa Boba Nasi terlihat lebih biru dari biasanya. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan suara riuh tawa anak-anak dari arah bendungan. Proyek bendungan yang selama berbulan-bulan menjadi pusat aktivitas desa kini resmi selesai. Para pekerja mulai mengemasi alat-alat berat, teknisi menandatangani laporan akhir, dan warga menyiapkan syukuran kecil-kecilan di balai desa.
Di panggung kecil yang dihias dengan janur kuning dan bunga flamboyan, ibu-ibu menyajikan jagung titi, ubi rebus, dan kopi pahit khas daerah. Anak-anak menyanyikan lagu-lagu daerah dengan seragam sekolah mereka yang masih terlihat lusuh tapi penuh semangat. Pendeta Yohanes, Pak Imam Safar, dan Dukun Anan berdiri berdampingan, membacakan doa bersama. Sebuah simbol perdamaian yang lahir dari kerja sama dan pengertian.
Tapi Boe tidak ada di sana.
Ia memilih pergi ke bukit di sisi timur desa. Bukit itu adalah satu-satunya titik sinyal kuat di seluruh kawasan. Di sanalah dulu ia mengirim email-email penting ke NGO, menghubungi atasannya, dan menulis jurnal pribadi. Tapi hari ini, ia tidak membawa laptop atau dokumen teknis. Ia hanya membawa handphone lamanya yang sudah retak di bagian layar.
Ia duduk di atas batu besar yang sudah ia kenal baik. Angin bertiup pelan, menyibak rambutnya yang mulai memanjang. Ia membuka galeri foto. Mencari satu gambar yang selalu ia simpan di folder tersembunyi—foto Septa. Di foto itu, Septa sedang tersenyum, berdiri di depan jembatan gantung kecil yang dulu mereka rancang bersama saat masih kuliah di Bandung. Senyumnya hangat, matanya berbinar, dan Boe seolah bisa merasakan kehadirannya kembali hanya dengan menatap layar itu.
Dengan suara pelan dan gemetar, ia buka aplikasi perekam suara. Lalu mulai bicara.
“Septa… kamu dengar?”
Ia menarik napas panjang, menatap ke arah horizon di mana langit bertemu dengan pepohonan jauh di sana. Suaranya lirih, tapi penuh.
“Airnya udah ngalir. Sungai yang dulu kering sekarang udah punya arus. Anak-anak bisa mandi tiap sore, warga mulai tanam jagung lagi. Bendungan ini… mereka kasih nama Harapan. Mungkin kamu senyum di sana, ya?”
Ia berhenti sejenak, menahan napas. Lalu melanjutkan.
“Tapi rasa sepi ini… masih belum selesai. Walaupun aku lihat mereka bahagia, aku tetap ngerasa ada ruang kosong di dalam hati. Yang cuma kamu isi.”
Suara angin menjawab lirih. Langit tetap cerah. Tapi hati Boe masih mendung.