Batavia, 1929
Aku tidak ingat kapan terakhir kali mataku sanggup mengeluarkan air mata saat aku ingin. Aku juga tidak ingat kapan terakhir kali aku bisa menelan semua kegundahanku. Sebelum hari ini. Hari dimana aku mendapati bahwa kita tidak akan pernah bertemu meskipun kita ingin. Karena saat ini, perpisahan yang terjadi bukan kehendak siapa-siapa melainkan kehendak Sang Pemilik Waktu. Waktumu berhenti di sini. Begitu pula waktuku. Perjalanan awan yang dulu kita nikmati bersama sekarang berhenti. Perjalanan-perjalanan lainnya pun begitu. Semua terhenti. Yang tersisa dari hidupku hanya kepiluan yang aku tidak yakin kapan ujungnya. Sampai akhirnya manusia kecil di pelukanku menangis. Pilu rasanya melihat kulit putihnya yang kontras dengan pakaian hitamku. Yang membuatku pilu bukan main, bukan fakta kepergian ayah bayiku sekaligus kekasih hatiku, tetapi fakta bahwa satu-satunya waktu yang masih berjalan adalah waktunya. Dan, satu-satunya juga yang berusaha menggerakkan roda waktuku yang telah berhenti.
Kutimang manusia kecil itu ke sebuah ruangan yang dahulu adalah ruangan kami bertiga. Sambil menimangnya, waktuku berjalan mundur menuju sebuah waktu ketika ruangan ini masih ruangan kami berdua. Waktu itu, pertama kali aku masuk ruangan ini. Pertama kalinya aku melihat seorang yang pantang berkata banyak, menjadi seorang yang banyak berbicara.
”ketahuilah Mar, jika saat ini bangsa kita damai, mungkin aku tidak akan bisa mengumpulkan keberanianku untuk datang kepadamu, dan memintamu dari ayahmu. Entah mengapa, aku bersyukur negeri kita masih dalam perang. Aku memang sedikit tergesa-gesa Mar. Tapi aku melihat sosokmu yang luar biasa. Kamu memang tidak bisa memegang senjata, tapi kamu tetap menjadi garda terdepan perjuangan kami” Ujarnya untukku yang sedang gugup duduk di ujung kasur itu.
Aku masih ingat jawaban lugu yang kuberikan malam itu.
”Bagaimana bisa aku menjadi garda terdepan perjuanganmu jika bahkan aku tidak tahu apa-apa soal perang?”
”Tulisanmu Mar” jawabnya sambil tertawa jahil.
”Kamu meledekku ya Mus?! Aku tahu tulisan tanganku jelek, tapi..” Aku membeku, dia membuatku bungkam dengan memelukku. Erat tapi lembut. Jantung ini berdebar kencang sampai kuyakin, semburat merah yang muncul di wajahku tidak akan sanggup aku tutupi. Aku pun memutuskan untuk menyembunyikan wajahku dibalik bahunya.
Dia pun melepas pelukannya dan melihat ke arah mataku, sambil tersenyum sedikit karena menyadari pipiku yang sudah kemerahan. Ketika pandangan kami bertemu, dia pun berkata ”Tulisan tanganmu memang jelek, semua orang tahu itu. Tapi isi tulisan itu mewakili setiap suara hati dari rakyat negeri ini, juga suara-suara kami yang ada di barisan terdepan. Ingat tulisan pertamamu?”
”Tulisan pertama?” jawabku menguji.
Sebenarnya aku ingat apa yang aku tulis pertama kali. Waktu itu, aku masih mengandalkan tulisan tanganku, yang syukurnya, masih bisa terbaca. Aku menyalinnya dalam beberapa lembar kertas. Tidak sampai satu rim, mungkin hanya seratus lembar, mungkin juga kurang. Yang ku tulis kala itu adalah luapan suara hati yang kutampung bertahun-tahun lamanya. Dia pun merogoh kantungnya, mengeluarkan secarik kertas, lalu mengangkatnya ke udara, menunjukkannya kepadaku.
”Itu pertama kalinya aku mendapat surat dari seorang perempuan. Tapi, aku sedih karena semua rekan kerjaku ternyata dapat surat yang sama” dia membuka kertas itu sambil tersenyum sedikit.