Pantai Utara Jawa, lima hari kemudian
Perjalanan menuju kampung halaman Musa terasa sangat panjang. Walaupun hanya duduk. Tapi menunggu adalah suatu hal yang paling berat dilakukan. Sekalipun begitu, melihat matahari yang masih malu-malu mengintip dibalik laut jawa menjadi hiburan tersendiri. Aku teringat dulu pernah Musa mengajakku berkunjung ke pantai di utara Batavia. Pagi-pagi sekali kami berangkat, bahkan subuh pun belum tiba. Pukul 4 pagi mungkin. Hari itu suasana hatinya sedang buruk, entah mengapa, dia belum mengajakku bicara seharian. Lalu sampailah kami di pantai utara Batavia tepat saat matahari terbit. Aku belum lupa pemandangan kala itu. Juga perasaan saat itu. Langit yang kala itu berwarna-warni dengan kombinasi ungu, oranye, putih, dan kuning. Sedang udaranya beraroma garam, aroma khas laut. Sayup-sayup terdengar nyanyian-nyanyian burung-burung laut yang sudah mulai mencari rezeki.
Tapi dia masih membisu. Hanya menatap laut yang sama tenangnya dengan dia. Dia seperti terjebak dalam kotak transparan yang hanya berisi dirinya dan pikirannya. Tidak bisa merasakan apapun di sekitarnya. Sedang aku, aku hanya bisa duduk di sampingnya. Ikut membisu. Hingga matahari pun meninggi, dan sunyi pun terganti oleh lalu lalang nelayan-nelayan yang mulai mencari rezeki.
“Apakah ada dari perkataanku atau perbuatanku yang kurang berkenan?” Tanyaku padanyanya, mencoba membuka kotak transparannya itu.
Dia menoleh padaku dengan ekspresi terkejut? Dengan matanya yang terbuka lebar dan bibirnya yang sedikit terbuka.
Dia pun cepat-cepat menggeleng. ”Ti-tidak. Ini bukan tentang dirimu” Jawabnya agak gugup sambil mengacak-acak rambutnya dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Lalu membuka wajahnya dan mengambil napas panjang-panjang. Dan dihelanya juga napas itu sama panjangnya.
”Kalau begitu, apakah karena dia?” tanyaku sambil memegang perutku yang buncit. Sudah sembilan bulan lamanya Allah menitipkan ciptaanya pada kami dalam rahimku.
Dia tersenyum cukup lebar sampai terlihat giginya. Meletakkan telapak tangannya diatas tanganku yang sedang memegang perutku. Dia lalu mendekatkan kepalanya pada perutku dan menciumnya. Ketika dia melihat wajahku, dia terkejut kembali. Karena aku cemberut, lalu sambil menutup mataku, aku mengalihkan pandanganku jauh dari pandangannya.
”Aku tak menyangka. Seorang Musa, bisa mencium orang lain didepan istrinya. Sambil senyum pula” Ujarku agak sinis, masih dengan ekspresi yang sama dengan sebelumnya.
Kali ini dia tertawa sambil menahan tawanya. Lalu menyamarkan tawanya sebagai batuk. Aku pun melirik dengan membuka sebelah mataku. Hanya memastikan dia tersenyum. Ya, dia tersenyum, sambil berusaha menahan tawanya dengan tangannya. Ketika kepalanya menjauhi perutku, aku menyilangkan tanganku di depannya. Aku melirik wajahnya dengan sinis.
”Aku juga tak menyangka. Seorang Maryam, bisa cemburu dengan anaknya sendiri” Jawabnya sambil tertawa kecil. Sebenarnya aku tersenyum tipis saat itu, hanya saja, segera ku kerucutkan bibirku.
”Ayolah sudahlah.. Aku hanya ada sedikit masalah. Tapi sudah berlalu.” Ujarnya sambil memegang bahuku.
Aku menoleh ke arahnya. ”Benar?” Tanyaku, hanya memastikan.