Blora 1929, keesokan harinya
Kuda-kuda sudah mulai letih Kembali, pikirku. Bukan karena mereka belum istirahat, tetapi karena banyaknya bekal yang kami bawa sejak kami bertolak dari Semarang. Perjalanan menggunakan kuda memang memerlukan waktu yang lebih lama daripada perjalanan menggunakan otomobil. Kuda, sama seperti manusia, butuh istirahat, makan, dan minum. Sedang otomobil hanya perlu bahan bakar saja, tak perlu istirahat. Tapi, otomobil saat ini harganya sangat mahal. Hanya kaum berduit yang dapat membeli. Sedang orang-orang pas-pasan seperti kami, menaiki kereta kuda saja sudah terasa sangat mewah.
”Apakah kita perlu membeli air sebanyak ini? Bukankah sebentar lagi kira sampai Yahya?” Tanyaku
”Perlu Mba Mar, apalagi air. Di daerah di sini sudah tidak ada sumber air, kemarau panjang pula. Sudah setahun ini endak hujan-hujan Mba. Biasanya kuda akan cepat haus disini, sehingga air yang kita beli di semarang bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk kuda-kuda” Jawab Yahya dengan logat khas jawanya.
”Tapi kan kita bisa membeli air di warga sekitar?” Argumenku. Karena kupikir, bekal kita terlalu banyak sehingga kuda akan cepat lelah.
”Disini daerah sepi Mba.. Cuma ada jalan, hutan jati, sama tentara belanda patroli. Mau beli ke siapa to? Penunggu pohon jati? Kayaknya kalau siang bolong gini mereka juga tutup deh Mba Mar” Balas Yahya, sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa.
Yahya, Sepupu Musa ini rasanya orang yang lucu, juga lebih supel dari Musa. Bisa dibilang berkebalikan juga dari Musa. Kalau Musa orang yang pendiam, tidak bisa melucu, dan kaku. Mungkin karena dia seorang dokter, jadi lebih banyak bergaul dengan buku dibandingkan dengan manusia. Sedang Yahya, adalah seorang pedagang. Sudah tentu kalau dia tidak supel, mana bisa jualannya laku.
Namun, kedua bersaudara ini tumbuh di dua kondisi keluarga yang berbeda. Musa pernah bercerita sedikit tentang keluarganya, itupun setelah aku paksa. Kalian tahu sendiri bukan, betapa pendiamnya dia. Mereka berdua tumbuh di lingkungan pesantren. Bedanya, ayah Musa lebih terbuka untuk ilmu modern dibandingkan Kyai Shaleh, ayah yahya. Karena perbedaan kedua ayah ini lah takudir dua bersaudara itu berbeda. Musa bisa dengan leluasa belajar ilmu modern di sekolah buatan belanda. Sedang Yahya, hanya menempuh pendidikan di pesantren. Walaupun, pesantren juga sama bagusnya. Di pesantren juga mereka diajarkan untuk membaca dan berhitung. Hanya saja, lulusan pesantren saat ini tidak diakui belanda kemampuannya. Sehingga kebanyakan lulusan pesantren menjadi guru ngaji, pedangang, juga petani.
Itulah kondisi saat ini.
Tiba-tiba kereta kami berhenti mendadak.
”Ada apa ini Yahya?” Tanyaku, berusaha agar tidak panik.
”Sebentar ya Mba.. Saya cek dulu” Jawabnya, lalu menghilang dari balik pintu kereta.
Lalu terdengar suara orang berteriak dengan Bahasa Belanda.
Aku penasaran. Aku pun melirik ke luar jendela kereta. Di depan, ternyata kereta kami dihadang oleh dua orang tentara Belanda, yang sepertinya, sedang mencari sesuatu.
Aku pun memutuskan untuk bertanya pada Yahya.
”Ada apa ini Yahya? Kenapa kita diberhentikan? Padahal ini bukan pos keamanan Belanda” Tanyaku, sambil berteriak pada Yahya.
Yahya yang dari jauh terlihat kikuk menghadapi tentara Belanda pun menghampiriku.
”Saya tidak tahu mba. Mereka tidak berbicara bahasa jawa maupun bahasa melayu.”