Bengawan Solo dan Hujan

Zahrah Qolbaina Ariybah
Chapter #4

Maryam - Kejadian di Bengawan Solo

Bojonegoro 1929, masih di hari yang sama.

Aku rasa perjalanan ini akan segera berakhir. Sekalipun itu hanya yang kurasa. Setelah melewati gardu ’Selamat Datang di Bojonegoro’ kereta kami masih juga belum berhenti. Sampai akhirnya kini sudah tidak ada lagi hutan jati yang memayungi kami. Yang ada hanyalah tanah merah merekah di sekeliling kami dan juga sisa-sisa dari kehidupan sebuah tumbuhan yang sudah tak mungkin hidup lagi. Berkumpulah manusia di sekitar lahan merekah itu. Di antara mereka ada yang berusaha mengambil sisa-sisa kehidupan dari tanaman yang mereka tanam sambil meratapi nasib. Semuanya kering, tidak bisa menghasilkan apa pun. Sementara sebagian yang lain ada yang, pantang menyerah, masih berusaha memacul tanah merah yang keras lagi kering itu. Hanya sebagian manusia kecil yang masih bisa menikmati euforia kemarau tahun ini. Bagaimana tidak? Mereka menjadikan tanah kering ini sebagai tempat bermain. Ya, Anak-anak memang makhluk ajaib. Jika suatu hari ada kesedihan menimpa orang dewasa, mereka selalu punya cara untuk tetap tersenyum. Dan terkadang, itulah yang selalu berhasil menjadi bahan bakar semangat orang tua mereka.

Musa kecil pun juga begitu.

Sekalipun belum bisa berbicara ataupun bermain dengan leluasa, sirat matanya selalu mengajakku bermain. Sesekali aku memainkan boneka kayu kuda yang bisa menghasilkan bunyi. Mainan yang dibuat sendiri oleh Musa. Katanya, kalau anak kami laki-laki, pasti suka dengan bentuknya. Kalau perempuan, dia akan menyukai bunyinya. Lalu Musa kecil tertawa. Dan senyumannya menjadi sumber semangatku. Juga terima kasih pada Musa kecil, aku tidak perlu berbicara lagi kepada Yahya. Seandainya Musa kecil tertidur, mungkin aku tidak bisa menutupi kecurigaanku akibat kejadian di Blora tadi.

Sedang Yahya, dia hanya melihatku sesekali. Tidak juga mengajak bicara padaku.

Mungkin ini yang terbaik.

Sebenarnya banyak pemandangan indah yang bisa dinikmati dalam perjalanan ini. Hanya saja kereta ini berjalan terlalu cepat. Sehingga semua pemandangan yang tertangkap mataku hanya seperti lembar-lembar film foto yang lewat, dan terlupakan setelahnya. Jika bisa, aku ingin mengabadikan mereka semua dalam ingatanku. Tapi apalah daya, ingatanku terbatas, sama seperti terbatasnya indraku.

Lalu kulihat tanah kosong yang tidak seperti tanah-tanah sebelumnya. Tanah ini panjang, warnanya coklat dan basah. Dia juga, sama seperti tanah sebelumnya, dikelilingi banyak manusia. Yang sama dari kumpulan manusia di tanah ini dengan di tanah sebelumnya hanyalah anak-anak yang sedang bermain. Sisanya, kumpulan manusia ini bukan meratapi nasib musim kemarau yang tak kunjung terlihat ujungnya. Di antara mereka ada yang mencuci baju, ada juga yang membawa jaring ikan. Membawa jaring? Di tanah?

”Apakah orang-orang di sini biasa mencari ikan dari air tanah?” tanyaku pada Yahya. Akhirnya, setelah sekian lama, akulah yang memecah sekat di antara kami.

”Bukan mba, mereka di sungai. Tapi mungkin mereka ndak bakal nemu ikannya mba, sungainya sudah kering dua tahun, siapa pula yang mau hidup di sungai itu” Jawab Yahya, diakhiri dengan nada ketus.

”I..Itu sungai Yahya?” Jawabku terkejut. Aku tak menyangka tanah basah itu adalah sungai.

”Iya mba, itu sungai terpanjang dan terbesar di pulau jawa. Sungai Bengawan Solo” Jawabnya, sambil melihat ke arah jendela.

Tanpa hujan, sebuah sungai terbesar pun tidak akan punya arti. Seperti Bengawan Solo ini. Tanpa hujan, dia hanya akan menjadi segaris tanah tanpa makna yang menyisakan manusia-manusia yang masih berharap hidup. Dan aku pun menyadari, kumpulan manusia di tanah ini ternyata tidak ada bedanya dengan kumpulan manusia di tanah merah kering merekah tadi. Mereka sama-sama masih berharap adanya penghidupan dibalik sesuatu yang mustahil untuk hidup lagi.

Dan mungkin sama seperti aku.

Jika-orang-orang itu berharap kehidupan dari tanah yang mati, maka aku pun masih mengharapkan ada keajaiban yang membantah semua hal yang berkaitan dengan kematian Musa.

Lihat selengkapnya