Bengawan Solo dan Hujan

Zahrah Qolbaina Ariybah
Chapter #5

Maryam - Hakikat Seorang Tamu

Bojonegoro, Desember 1929

Sebenarnya, kalau bukan karena kemarau panjang, hari ini, mungkin aku tidak bisa menikmati indahnya taman di halaman ditemani dengan sinar matahari. Mungkin aku ditemani hujan, yang didamba semua penghuni kota ini. Sudah berhari-hari sejak kejadian di bengawan solo, entah sudah berapa hari, aku tidak menghitungnya. Sejak saat itu pula, aku belum berbicara dengan Yahya. Dia orang pertama yang menentang keputusanku untuk membawa orang belanda itu ke desa.

”Mba Mar, bukankah aneh kalau dia tidak mau dibawa ke rumah sakit? Bagaimana jika sebenarnya dia itu buron?” katanya, meragukan keputusanku.

”Dan bagaimana jika sebenarnya dia itu bukan seperti yang kita pikirkan? Bagaimana kalau dia bukan buron, dia hanya orang yang tidak sengaja kena tembak, atau saksi mata dari suatu peristiwa?” Jawabku juga meragukan argumennya.

”Tidak masalah bukan?” Jawabnya lagi, menantang pendapatku.

”Kalau dia orang baik, memang bukan masalah untuk kita. Tapi bukankah kita akan menyesal jika tidak menolongnya?” Balasku.

”Bukankah kalau ternyata dia orang jahat, kita sama menyesalnya?” Balasnya lagi.

Itu akan berbeda.

Dia tidak akan tahu rasanya menyesal karena tidak menolong itu berbeda dengan menyesal karena dikhianati. Aku jadi ingat ketika rumah kami, aku dan Musa, dulu di Batavia, pernah didatangi seorang pemuda, seumur kami mungkin. Pemuda itu mengetuk rumah kami. Hari itu, adalah hari libur Musa juga hari liburku. Saat kami bertanya, ternyata pemuda itu adalah kerabat dari pasien Musa di rumah sakit. Dia ingin meminta uang pada kami, untuk pulang mengabari keluarganya.

Aku menyiapkan uang yang diminta. Namun, Musa menghentikanku. Katanya, pemuda itu sebenarnya adalah buron. Dia adalah tersangka dari penusukan ayahnya, yang juga adalah pasien Musa saat ini. Dia juga adalah orang yang bisa membunuh demi sekedar harta warisan.

”Lalu? Berarti bisa jadi uang ini adalah untuk melarikan diri?” Dugaku. Musa pun mengiyakan dengan mengangguk.

”Lalu, kita harus bagaimana?” Tanyaku pada Musa.

Lalu, kami pun memutuskan untuk menolaknya dengan cara yang baik. Kami katakan saja, uang gaji kami tidak ada lebihnya selain untuk hidup di Batavia. Kalaupun ada lebih, kami sudah berikan pada keluarga kami di kampung.

Lihat selengkapnya