"Bapak pengin sampeyan dadi wong sing sukses, dudu wong sing pinter," suara itu jelas terdengar dari lelaki tua, kepalanya pakai belangkon jawa sedang mencuci becak di pendapaan, pelataran depan rumah.
Pendapaannya, pelataran depan terlihat bersih di tumbuhi rumput hijau sudah terpangkas rapi, pepohonan kecil hijau dengan aneka jenis tanaman tubuh menghiasi. Senja sebentar lagi akan segera bergulir mengajak semilir hempasan angin terasa hangat akan berganti dengan gelap malam membawa angin dingin.
Tampak dari depan rumah bergaya joglo jawa, walau tidak terlalu besar bangunan rumah, namun sungguh terlihat gayanya menunjukan bangunan rumah itu cukup masih terawat, tentu mencerminkan pada pemilik rumahnya sangat begitu apik.
"Saya paham maksud Bapak. Kalau jadi orang pintar itu, tidak boleh minteran orang?" suaranya terdengar suara lelaki dari dalam pringgitan, ruangan tengah.
"Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi ...
Perhatian insani"
Sayup terdengar penggalan lirik lagu bengawan solo dari speaker radio butut, terkadang suaranya mendayu kecil terkadang besar tapi terdengar cempreng.
Lelaki berwajah tampan berkulit hitam manis hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia tidak jadi mendorong sepeda kumbangnya keluar, karena hampir setiap hari ia tahu betul dengan radio butut kesayangan milik Bapaknya itu selalu terdengar lagu bengawan solo, lagu yang sangat di sukai lelaki tua telah belasan tahun menjadi duda. Ia masih belum selesai mencuci becak miliknya, becak yang selalu mengantarkan penumpang berputar-putar kota solo.
Tiba-tiba tidak lagi terdengar suara lirik lagu bengawan solo, suaranya makin lama tidak lagi terdengar. Maklumlah, radio itu sudah sering kali di reparasi, kompenen dalam tubuh radio butut itu sering di koprek-koprek dan terkadang di kanibalin karena susahnya mencari sparepart komponennya.
Firman, lelaki tua penarik becak begitu sangat menyayangi anak-anaknya. Anak satunya, ia sudah bekeluarga namun belum di karuniai anak, ia punua usaha reparasi service elektroniknya cukup banyak pelanggan.
Selesai becak di cuci masih meninggalkan tersisa basah pada sekujur bodynya, airnya mengalir merayap merasuki akar-akar kecil rumput agar tetap hidup menghijau menghiasi pendapaan.
Kemudian ia terduduk di kursi kayu, tersenyum bahagia perhatikan becak miliknya masih tersisa basah. Becak itu, becak banyak memiliki kenangan terindah. Becak yang selalu mengantarkan anak-anaknya berangkat sekolah, dari sekolah dasar sampai ia kuliah dan satu anaknya lagi sudah memiliki keluarga.
Wajahnya tua mengriputnya selalu terumbar senyuman, terkadang bibirnya tidak pernah berpisah dari hisapan ujung rokok kretek. Begitu sudah terbiasanya lelaki tua itu, setiap harinya tidak bila menghilangkan kebiasaan merokok. Mungkin dengan cara ia merokok, sejenak ia bisa menghilangkan rasa penat dan lelah seharian mengayuh pedal becak.
Rokok kretek semakin terbakar dan mengeluarkan kepulan asap saat di hisap bibir berwarna coklat, sessambil menyeruput secangkir kopi dan rokok tersisa setengah di biarkan pada asbak. Langit semakin datang senja jelas terlihat seprihan awan kelabu menyamari paparan sinar matahari. Bibirnya kini bersenandung, menyenandungkan sepenggalan lagu kesukaannya.
"Bengawan solo. Riwayatmu ini." __ "Mau dibawa kemana lagi radio itu?"
Tidak di lanjutkan lagi ia menyenandungkan lagu kesukaannya. Lelaki tua itu cepat beranjak bangun, ia terkejut radio butut miliknya sudah terikat pada boncengan belakang sepeda di dorong keluar dengan dua tangan anaknya.
"Ya mau aku perbaiki, Pak. Masa aku mau jual radio butut. Mana ada yang mau beli radio butut ini," anaknya berkelakar kecil, ia tertawa sambil mendorong stang sepeda kumbangnya.
"Lah, nanti Bapak ndak bisa tidur jika ndak ada radio itu,"