Bentala

Rahmad Dede Yufani
Chapter #2

Episode 1

Sekitar sehari sebelum kejadian itu...

Beberapa jam telah berlalu di bilik hitam yang sunyi sekaligus mencekam Khikar dan Ellhes duduk termenung melihat keadaannya yang kurang beruntung di tempat asing: sebuah desa yang berada di dalam tanah yang jarak kedalamannya ratusan kilometer dari atas permukaan tanah—untuk masuk dan keluar perlu menggunakan portal. Koridor penjara tampak sepi, tidak ada penjaga. Hanya ada satu lampu bohlam di paling pojok koridor dan itu satu-satunya cahaya yang menyinari bilik penjara satu dengan bilik penjara lainnya. Lantai koridor yang mengkilap membuat cahaya lampu bohlam memantul keatas titik koridor paling jauh dari lampu bohlam.

Jeruji penjara yang transparan membuat bilik tidak kedap udara. Alih-alih mudah untuk kabur—ternyata, aliran listrik berwarna kuning muncul ketika tahanan hendak kabur.

   "Kalau kalian berani untuk melarikan diri, tanggung sendiri akibatnya!" ujar petugas penjara setelah mendorong paksa Khikar dan Ellhes untuk masuk penjara. Setelah itu, salah satu petugas menekan tombol di tembok sebelah lubang berbentuk persegi—yang ukurannya pas untuk satu orang. Di saat bersamaan suara aliran listrik terdengar dari sisi-sisi tembok.

   "Kawanku akan datang mengantarkan makanan. Tunggu saja. Kami tidak akan menyakiti kalian. Sesuai perintah dari Tuan Rea" ucap penjaga penjara seraya menekan salah satu jeruji hingga terdengar suara gembok terkunci. Padahal tidak ada gembok atau benda apapun yang menempel di tembok.

Waktu terus berjalan. Lima jam lebih waktu dihabiskan dengan berdiam tanpa melakukan hal jelas. 

   "Ini semua gara-gara kau, Khikar!" Ellhes menggerutu.

   "Bicara apa kau ini. Maksudmu, aku penyebabnya? Gara-gara aku kita terperangkap di tempat ini?" tanya Khikar kesal.

   "Jika kita tidak bertemu dengan wanita sialan itu mungkin nasib akan berkata lain" ucap Ellhes lebih pelan.

   "Apa kau tidak ingat?"

   "Ingat apa?" Ellhes menatap Khikar serius.

   "Jika Antlia tidak datang menyelamatkan kita waktu itu. Mungkin kita sudah mati. Satu atau dua serangan monster pohon oak itu bisa membuat tulang kita bisa patah. Dan kau, kena satu serangan langsung pingsan. Di saat bersamaan aku kerepotan melawan monster pohon oak yang tidak bisa habis-habis. Satu mati, datang sepuluh. Bahkan lebih. Sampai pada satu titik aku sudah tidak bisa bertahan lagi—aku bertarung semalaman demi melindungi mu. Hingga tongkat pemberian dari ayahku hancur." ucap Khikar memandang Ellhes dengan tatapan tidak seperi biasanya.

   "Maaf, Khikar. Aku belum berfikir sejauh itu" sesal Ellhes telah berbicara buruk ke Khikar.

   "Bagaimana kau bisa bertemu dengan perempuan itu? Maksudku, Antlia" tanya Ellhes.

Khikar menarik nafas sebelum menjawab pertanyaannya Ellhes.

   "Setelah bertahan beberapa jam melawan monster pohon oak yang begitu banyak. Aku mengeluarkan kekuatan terakhir dengan menggunakan perubahan wujud"

   "Perubahan wujud?" tukas Ellhes.

   "Tongkat yang sebelumnya kayu menjadi ferum"

Ellhes terkejut mendengar pernyataan dari Khikar perihal tongkatnya yang saat itu nampak begitu biasa-biasa saja: tongkat yang terbuat dari kayu.

   "Tapi, tidak aku sangka. Saat aku, melakukan pukulan pertama untuk menyerang monster pohon oak yang besar. Sekali pukulan itu, tongkat ferum langsung hancur. Menjadi beberapa pecahan kecil. Pecah-pecahan serum itu berterbangan. Di saat bersamaan aku terkena pukulan dari monster pohon oak. Aku terpelanting ke tanah. Kemudian, jatuh dan Hampir pingsan. Sayup-sayup tampak seorang perempuan dengan busur panahnya. Sepertinya, dia mengusir monster pohon oak. Kurang jelas begitu, sebelum mataku tertutup dia menuju ke aku yang sedang tergeletak lemah. Bangun-bangun kita sudah berada di gubuk itu. Di atas bukit, tempat untuk membuka portal menuju tempat ini." jelas Khikar.

   "Aku hendak menunjukan sesuatu kepadamu" Khikar menatap Ellhes.

   "Apa?" Ellhes menatap balik.

Khikar menggulung pakaian panjang lengan kanannya yang terlihat lusuh.

   "Tanpa aku sadar. Saat aku pingsan. Kepingan-kepingan ferum dari tongkatku menempel di lengan kanan ku,"

   "Dalam setiap hari kepingan ferum ini terus bertambah" lanjut Khikar.

   "Ini?" Ellhes seraya menyentuh lengan Khikar.

Ellhes tercengang melihat lengannya Khikar terdapat ferum yang berkilauan—saat tangannya Khikar bergerak.

   "Bagaimana rasanya? Apa kau merasakan sesuatu yang berbeda semenjak kepingan ferum ini menempel di lenganmu?" tanya Ellhes sambil memegang lengannya Khikar.

   "Sejauh ini, belum ada reaksi apapun" jawab Khikar 

   "Kemungkinan besar. Kepingan ferum ini akan terus menyebar hingga ke pergelangan tanganmu"

   "Semoga ini bukan hal yang buruk" ucap Khikar sambil menutup lengannya.

***

 Penjaga penjara datang—dengan tampang berbeda membawa makanan yang membuat Khikar dan Ellhes terheran-heran.

   "Ini makanan untuk kalian. Makanan ini bisa bertahan hingga minggu depan. Mungkin lebih" ucap penjaga penjara seraya menyodorkan makanan—setelah menekan tombol pembuka jeruji penjara.

Khikar dan Ellhes terdiam sejenak.

   "Tanah kering? Makanan macam apa ini?" Ellhes mengenyitkan dahi melihat makanan yang disediakan oleh penjaga penjara.

Tampak piring logam besar dan beberapa emas di pinggir-pinggirnya di atasnya ada gumpalan tanah kering keras berwarna coklat muda dan ada satu kantong berbahan kain yang sepertinya berisi pasir.

   "Kenapa? Wajah kalian mirip seperti orang pertama kali makan tanah. Berlebihan. Apa kalian belum pernah makan makanan ini?" tanya heran penjaga penjara.

   "Keras. Kami tidak makan tanah!" ucap Khikar setelah menyentuh gumpalan tanah.

   "Entah apa yang kalian pikirkan tentang makanan ini. Kalau kalian tidak hendak memakannya. Tanggung saja sendiri. Kalian akan kelaparan. Jangan berbohong pada perut kalian sendiri" ucap penjaga penjara seraya menekan tombol untuk menutup jeruji penjara kemudian pergi meninggalkan Khikar dan Ellhes menatapi makanannya.

   "Apa ini?' Ellhes mengambil kantung kain di pinggir piring logam.

   "Coba kau periksa. Barangkali bisa kita makan" suruh Khikar.

   "Pasir. Tapi,"

   "Apa?"

   "Warnanya putih dan berkilau. Lihatlah" Ellhes memberikan kantung kain ke Ellhes.

Khikar menilik isi kantung kain itu. "Seperti garam. Tapi, bukan" kemudian, Khikar mengambil beberapa butir pasir.

   "Aromanya nikmat sekali" ucap Khikar semringah.

   "Benar. Aku juga menciumnya. Hmm, nikmat sekali. Aku semakin lapar" 

Lihat selengkapnya