“Kau hamil, Ras?” tanya Nindya sambil memegang ketiga test pack yang tanpa sengaja dia temukan di laci nakas milik adiknya.
Laras yang baru bangun dari pingsannya menjadi semakin pucat. “Kenapa kau mengambil barang pribadiku?” tanyanya kasar.
Seakan tenaganya sudah pulih, Laras hendak duduk dan menyambar benda yang dipegang kakaknya, tetapi rupanya kepalanya masih berkabut.
Dengan sigap Nindya membantunya bersandar di dinding tempat tidur. “Aku hanya mau mencari minyak hangat,” jawab Nindya. “Ceritakan padaku, Ras. Apa Mama sudah tahu?” Nindya menggenggam tangan adiknya.
Laras menggeleng lesu.
“Siapa ayahnya?” tanya Nindya sambil mengembalikan test pack ke dalam laci. “Siapa, Ras? Sudah berapa lama kehamilanmu?”
“Sekitar empat minggu,” jawab Laras.
“Kau sudah periksa?”
Laras menggeleng. “Aku yakin usia kandunganku, Nin.” Laras memandang kakaknya. “Aku hanya melakukannya sekali. Hanya itu,” kata Laras sambil memegangi kepalanya yang mulai berdenyut.
“Oke.” Nindya menelan ludahnya. Dia tak tahu harus kecewa atau bersimpati pada adiknya. “Lalu siapa ayahnya? Dia sudah tahu?” Nindya memegang bahu Laras.
Laras mengangkat kepalanya, memandang Nindya, “belum.” Ada tatapan ganjil di mata Laras. “Dia sudah beristri,” lanjutnya.
Mata Nindya melebar, nafasnya terhenti sesaat. “Apa!” Dia menarik nafas lalu membuangnya dengan cepat. “Ras ...” kalimatnya tertahan. Nindya kini mengerti situasi apa yang dihadapi adiknya, namun dia juga tak menyangka kalau Laras bisa sejauh ini.
Dalam hatinya, Nindya menyalahkan dirinya sendiri yang lalai sebagai kakak. “Kau harus bicara padanya. Kau mau aku temani? Siapa dia, Ras?” Pertanyaan yang sedari tadi belum juga dijawab oleh Laras, terlontar kembali.
Laras menunduk terdiam, matanya terpejam seolah memikirkan langkah apa yang selanjutnya harus dia lakukan. Perlahan wajahnya terangkat. Dia menarik nafas dalam lalu membuangnya sebelum menatap mata Nindya. “Ini anak Bima.”
Nindya kebingungan. Seingatnya, tak ada teman Laras yang bernama Bima. Kalau ada, dia pasti tahu. Mungkin kawan baru
“Bima siapa? Teman baru-mu?” tanya Nindya.
“Ya. Bima.” Laras mengalihkan pandangannya ke lantai kamar. “Saat acara ulang tahun floris Mama di villa, Om Ridwan membawa anggur, Bima mabuk, dan ... dia merindukanmu, dan ...” kalimatnya menggantung.
Laras melihat Nindya kembali. Wajah kakaknya masih kebingungan mencerna potongan kalimat yang tadi ia berikan
“Maksudmu, Bima?” tanya Nindya. Dia hampir tak bisa mendengar suaranya sendiri karena beradu dengan degup jantung yang perlahan semakin cepat.
“Aku tahu aku tidak berhak minta maaf, Nin.” Tangannya memegang tangan Nindya. “Kami khilaf. Bima mabuk, dan ... aku ... aku sudah mencintainya sejak lama, Nin. Aku tidak menyangka akan sejauh itu.” Laras menelan ludahnya, menunggu reaksi Nindya.