Benteng Terakhir Pernikahan

Alexa Rd
Chapter #3

Chapter 3

Bima mengetuk-ngetukkan jari di setir mobilnya yang terparkir di depan galeri Pramudita milik Laras. Rencananya, dia akan menjemput Laras, lalu mereka akan pergi ke sebuah tempat untuk berbicara. Tapi hingga lima belas menit Bima menunggu, Laras belum terlihat.

Hampir saja Bima turun dari mobilnya dan masuk untuk mencari Laras kalau saja pintu samping tidak dibuka tiba-tiba dari arah belakang. Laras masuk, lalu duduk di samping Bima. “Maaf aku telat,” katanya pendek.

Bima melihat adik iparnya itu. Laras terlihat lebih kurus. “Dari mana kau, Ras? Aku tidak melihatmu keluar dari galeri,” tanya Bima.

“Aku dari luar,” jawab Laras singkat tanpa menoleh ke arah Bima.

Bima menghela napas. Setelah kejadian di vila, pertemuannya dengan Laras pasti selalu canggung. Dia menghidupkan mobilnya, meninggalkan galeri Laras ke arah utara kota.

“Kita bicara di sini,” kata Bima setelah mobilnya berhenti di bahu jalan yang cukup rindang dan sepi. Bagi Bima, tak ada tempat yang cukup aman untuk pembicaraan mereka berdua kecuali di dalam mobil.

Laras melepas sabuk pengamannya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah amplop dengan logo klinik terkenal di Jakarta yang kemudian disodorkan pada Bima.

Bima membukanya perlahan. Meski dia sudah bisa menebak apa isinya, namun tetap saja jantungnya berdegup lebih kencang. Butuh beberapa menit hingga dia menutup kembali isinya.

“Ini anakku?” tanyanya sambil melihat ke arah Laras.

Laras tertawa getir. “Sudah aku duga, kau akan bertanya begitu, Bim.” Laras balik menatap Bima. “Malam itu adalah kali pertama dan satu-satunya waktu di mana aku menyerahkan tubuhku pada pria. Kalau kau tak percaya, antar aku pulang ke galeri sekarang juga.”

Bima memukul-mukul pelan kepalanya sendiri. “Maaf, Ras. Aku tidak bermaksud menuduhmu macam-macam.”

“Ya ... Kau hanya ingin lari dari kesalahan.” Laras mengambil kembali amplop di tangan Bima lalu memasukkannya ke dalam tas.

“Akan aku lakukan apa pun untuk menyelamatkan pernikahanku dengan Nindya,” jawab Bima.

“Tidakkah itu sedikit terlambat?” Laras menatap Bima kembali. “Ada calon anakmu di rahimku.”

“Kau bisa menggugurkannya. Masih empat minggu. Malam itu adalah sebuah kesalahan, Ras. Kita sudah sepakat.” Bima mencengkeram setir mobilnya.

Laras mengalihkan pandangannya ke depan. “Aku juga berpikir seperti itu. Gugurkan, lalu berpura-pura semua tak pernah terjadi. Kecuali pada Nindya yang sudah terlanjur tahu. Tapi aku berubah pikiran.”

“Kenapa?” desak Bima.

Laras menatap Bima kembali, ada senyum kecil di wajahnya. “Karena ini satu-satunya bukti cintaku padamu.”

“Ini bukan cinta, Ras. Ini kesalahan. Tak seharusnya kesalahan memiliki buah!” Wajah Bima memerah. Hawa di dalam mobil terasa lebih panas meski AC terus dinyalakan.

“Bagimu mungkin adalah sebuah kesalahan. Tapi bagiku, malam itu adalah malam di mana aku mengikuti kata hatiku. Anak ini adalah buah cintaku, terserah kau mau mengakuinya atau tidak.”

Bima menghembuskan napas dengan cepat. Kepalanya terasa penuh. Terbayang wajah Nindya semalam, lalu wajah mertuanya. “Apa yang akan kau katakan pada Mama?”

“Aku akan mengatakan yang sebenarnya. Nindya sudah tahu, tak mungkin dia akan menutupi ini. Meski dia mencintaimu, tapi Nindya tetaplah Nindya. Dia akan melakukan sesuatu yang benar.”

Ada rasa sakit di dada yang Laras rasakan saat menyebut nama kakaknya. Sekali lagi dia merasa kalah.

Setelah keheningan memenuhi ruangan kecil di dalam mobil itu, suara Bima terdengar kembali. “Baiklah jika itu maumu.” Dia harus bertanggung jawab.

“Aku akan bertanggung jawab. Apa saja. Tapi kau harus ingat, aku hanya mencintai Nindya. Aku tidak menginginkan malam itu terjadi.” Pandangan Bima menusuk tajam ke arah Laras.

Laras mengalihkan pandangannya kembali ke depan lalu mengangguk. “Aku tahu. Kau sudah mengatakannya berulang kali.” Dia terdiam sebentar. “Antar aku kembali ke galeri.”

Bima tak segera menghidupkan mobilnya. “Kapan kau akan memberitahu Mama?” Saat Laras tidak segera menjawab, Bima melanjutkan. “Seperti katamu, ini juga kesalahanku, aku juga harus ada.”

Laras masih tak menjawab pertanyaan Bima. Dia sendiri setiap hari bertemu Dewi, Mamanya karena mereka tinggal serumah. Dewi sudah pulang dari luar kota tadi pagi.

“Baiklah. Aku akan hubungi Mama. Kita bicarakan nanti malam.” Bima mengambil alih. Setelah itu dia menghidupkan mesin mobilnya dan membawa mereka kembali ke galeri Laras.

Lihat selengkapnya