“Ah, untung kau sudah pulang, Ras.” Seru Dewi melihat Laras masuk dari pintu utama.
Laras menoleh ke arah Mamanya. “Ada apa, Ma?”
“Bima tadi telepon. Dia mau ke sini nanti malam. Mungkin karena kemarin hanya kamu dan Nindya saja yang hadir.” Dewi tersenyum.
“Ah ....” Langkah Laras terhenti sebentar lalu dia hanya mengangguk pada Mamanya. “Laras ke kamar dulu ya, Ma,” lanjutnya.
“Iya. Tumben juga kamu hari Minggu ke galeri,” imbuh Dewi sambil melihat Laras menuju arah kamar. “Suti!” Dewi memanggil asisten rumah tangga mereka.
Wanita paruh baya yang sudah ikut Dewi sejak Nindya masih kecil itu tergopoh ke ruang tamu.
“Nanti malam Bima sama Nindya mau datang. Ada makanan kan? Atau kamu masak lagi saja. Bahan makanan masih ada kan?” tanya Dewi sembari mengingat-ingat isi dapurnya.
“Masih, Bu,” jawab Suti. Dia merasa aneh karena kemarin Nindya dan Laras tidak menyentuh makanan sama sekali setelah Laras pingsan. Lebih aneh lagi, Laras berpesan agar hal itu tidak diceritakan pada Dewi.
= = = =
Bima mengancingkan kemejanya sambil melihat tampilan wajahnya di cermin kamar tamu. Di sinilah sejak kemarin dia tidur. Sebulan ini sepertinya dia sudah bertambah tua beberapa tahun.
Setelah siap, dia keluar. Di ruang tamu sudah ada Nindya yang menunggu. Sejak pembicaraan semalam, Nindya tidak mengajaknya berkomunikasi lebih lanjut. Hari ini mereka akan ke rumah Dewi berdua.
“Terima kasih kau mau ikut,” kata Bima pada istrinya sambil mengambil tangan Nindya.
“Ini soal aku juga,” jawab Nindya singkat lalu menarik tangannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nindya mendahului Bima ke arah halaman di mana mobil mereka terparkir.
Di sepanjang perjalanan, Bima dan Nindya sama sekali tidak berbicara satu sama lain.
= = = = = = =
Pukul tujuh kurang, Bima dan Nindya sudah tiba di rumah Dewi. Dewi memeluk anak dan menantunya satu per satu. Karena kesibukan mereka, acara makan malam keluarga biasanya menjadi satu-satunya momen mereka bertemu sebulan sekali dan kemarin Dewi harus absen.
“Maaf ya, Mama kemarin betul-betul tidak bisa mengelak,” katanya sambil menuju ruang keluarga. Di sana sudah ada Laras yang duduk di ujung sofa.
“Tidak apa-apa, Ma,” sahut Bima. Biasanya mereka langsung duduk lalu bercengkerama. Malam ini semua terasa canggung.
“Kenapa berdiri saja? ayo duduk,” perintah Dewi yang belum membaca situasi.
Bima tersenyum pada mertuanya lalu memilih duduk di dekat Dewi. Di ujung sofa, Laras melirik pada Nindya yang sedari tadi hanya diam. Nindya sendiri memilih duduk di ujung yang lain.
“Ada yang ingin Bima bicarakan dengan Mama,” kata Bima setelah mengambil napas panjang. Namun sepertinya udara malam itu tak berpihak padanya, dadanya tetap sesak.
Kening Dewi mengerut. “Ada apa? Tampaknya serius sekali.” Dia menoleh ke arah Nindya tapi Nindya seolah sibuk memandangi lantai. “Ada apa?”
Meski sedari siang Bima sudah menyiapkan kalimat apa yang akan dia sampaikan pada Dewi, namun di depan mertuanya langsung seperti ini, lidahnya menjadi kelu.
“Bim?” Dewi memegang lengan menantunya. “Ada apa?”
“Laras hamil, Ma.” Tiba-tiba terdengar suara Laras menyela dari belakang.
Dewi sontak membalikkan tubuhnya ke arah Laras. “Apa Ras?” tanyanya. Sepertinya telinganya sedang bermasalah.