Seharian penuh Asa mantengin laptopnya guna memenuhi setoran proposal magangnya agar cepat selesai. Asa sedang sibuk – sibuknya sekarang, maklum mahasiswa semester tua pasti akan mendadak rajin karena banyaknya target yan harus diselesaikan.
Asa lagi pusing, karena proposalnya belum juga mendapat approved dari dospemnya (dosen pembimbing). Padahal udah perfect banget sih menurut Asa proposalnya, karena dia sudanh mencontoh milik kakak tingkatnya terdahulu yang satu dospem sama dia, tetapi tetap saja namanya seorang dosen, yang mempredikatkan diri sebagai orang berilmu yang maha benar, alhasil punya Asa harus direvisi lagi dengan argumen beliau yang bilang,
“Font judulnya beda, saudara Lameira. Tolong diperbaiki dulu.”
Please, ini cuma font loh. Asa aja nggak ngeh sumpah. Alhasil ya, Asa pulang dengan kecewa membawa serta proposal yang tertolak mentah – mentah karena font judul dan namanya tidak serupa. Asa pelototi jilid proposalnya, dan ia tidak bisa mendeteksi perbedaannya sama sekali. Sungguh jeli mata Bu Ati, padahal beliau sudah sepuh banget.
Sampai di kosan, bukannya menuntaskan revisinya yang ada dia malah tiduran di kasurnya, dengan quotenya yang selalu Asa andalkan yaitu “tidur bentar ah, lima menit aja,” padahal yang terjadi ia tertidur dari jam satu siang hingga jam lima sore.
Kurang lebih seperti itu lika – liku Asa selama satu bulan terakhir ini. Ia kerja lembur bagai kuda, di mana siang malam yang dia lakukan hanya mengahadap laptop dan mengecek emailnya untuk memastikan apply proposal magangnya diterima oleh perusahaan yang ia tuju.
Malam harinya Asa menlanjutkan tugasnya ditemani secangkir es kopi hitam favoritnya dan sebiji roti bantal coklat sebagai cemilan beserta makan malamnya,
Lagi asik ngetik dan tiba – tiba pintu kamarnya ada yang mengetuk...
Tok – tok ...
Begitu bunyinya,
Kemudian Asa mempersilakannya masuk,
“Masuk aja, nggak dikunci.”
“Sa?”
“Nape, Ndri?” jawab Asa sekenanya, tanpa mengalihkan pandangan serta setia dengan konsetrasinya.
Indri duduk di sebelah Asa, ingin berucap tapi ada rasa segan yang menyesak dada — takut. Iya, Indri takut Asa kecewa dengan kabar yang akan disampaikannya, padahal dia pernah berjanji kalau bakal pergi berdua.
“Gue udah dapat tempat — magang,” Indri berujar pelan, agak takut dia. Takut Asa kecewa, karena dari awal mereka sudah janjian magang di tempat yang sama. Tapi ternyata, Indri sudah dapat lebih dulu. Dia diajak gabung sama teman satu departemennya.
Tetapi jawaban Asa diluar dugaan Indri, yakni “Alhamdulillah dong, kalau lo udah dapet,” jawaban yang cukup membuat Indri tercengang. Karena dia pikir Asa akan murka, seenggaknya marah — dikit sama dia. Ternyata malah nggak.
“Lo nggak marah?” Indri bertanya lagi, memastikan. Karena takut, dia cuma — salah dengar.
“Gue — marah?” Indri menganguk, “mungkin.”
Asa terkekeh, jujur sih Asa sedikit kecewa. Tapi kayaknya egois banget kalau dia marah sama Indri, cuma karena janjian satu tempat magang. Tapi berujung Indri dapat tempat magang duluan.
“Kok malah ketawa sih? Beneran nggak marah?” Indri dibuat kebingungan karena sikapnya Asa.
“Terus? lo nyuruh gue nangis gitu?”
“Nggak gitu juga,”
“Gue nggak apa – apa, Ndri.” Ucap Asa dengan halus, sambil menggegam tangan Indri dengan maksud menenangkan, agar cewek itu nggak merasa bersalah.