Kalau boleh jujur Asa masih bingung, apa hal pertama yang harus ia lakukan. Alhasil dia hanya memainkan tab miliknya yang sengaja dia bawa untuk membenahi beberapa file miliknya, yang mungkin saja bisa dijadikan referensi nantinya.
“Lameira?” Panggil salah satu dari perempuan yang di tunjuk oleh Kapten Bayan, tadi. Asa yang mendadak lupa siapa perempuan itu, pun meresponnya sedikit kikuk... "I - ya mbak..."
“Saya Jesi, Lameira. Benarkan namamu?”
Asa mengangguk, “panggil Asa aja, mbak. Sepertinya lebih nyaman.”
“Oke - lah kalau begitu. Kemarilah mendekat, akan saya ajarkan beberapa hal padamu.”
Asa mendekat, ia menggeret kursinya untuk ia dekatkan ke sisi Jesi. “Terima kasih, mbak.: ucapnya dengan senyum termanisnya.
"Nggak usah sungkan, kalau kamu butuh bilang saya aja."
“Hehe, iya mbak makasi.”
Proses pengenalan dan pembelajaran di mulai, Asa sedikit takjub dengan realita. Oalah... Ternyata seperti ini toh sistem kerjanya di dunia kerja. Agak sedikit berbeda ketika di materi ataupun pratik yang biasa ia lakukan. Ketika Asa bertanya... Niatnya sih mengoreksi yaaa, bukannya sok tahu tapi memang di kampus Asa diajarinnya seperti itu. Namun ketika Asa bilang gitu, Jesi jawabnya... “Kalau di Perusahan menyesuaikan kebutuhan Asa, kalau pakai yang itu nanti agak ribet, soalnya sepintar dan seniat apapun orang itu agar terlihat wah dalam pekerjaannya. Tetap saja tujuan utama mereka adalah pekerjaannya cepat selesai supaya bisa cepat pulang gitu, makanya pakai cara itu biar semua orang paham, karena ada orang yang nggak suka ribet, kan.”
“Oalah, jadi gitu yaa mbak. Maaf kalau kesannya saya sok tahu.” Rasa - rasanya Asa agak gimana gitu karena bilang seperti itu sama Mbak Jesi.
“Nggak apa - apa, Sa. Santuy kalau sama saya mah. Sekarang udah paham, kan?” Asa mengangguk.
“Ya udah, coba kamu aplikasikan sendiri ya, nanti kalau masih bingung tanya lagi aja.”
“Oke mbak, makasi.”
Asa, pun langsung kembali ke mejanya sendiri.
***
Dio ngomel - ngomel sendiri dalam ruangannya, karena Bayan yang tak kunjung datang. Padahal mereka sudah janjian jam sepuluh pagi untuk membahas projek yang akan datang. Projek baru besutan Dio, yang katanya digadang - gadang bakal menjadi projek terbaik tahun ini. Tetapi Bayan malah lelet, padahal Dio sengaja memilih jam sebelum istirahat makan siang. Agar nanti saat jam makan siang nggak terganggu dan setelah istirahat Bayan bisa kembali ke kerjaannya.
“Oi, Pak Bos.” Setelah sekian waktu — lama Dio menunggu, akhirnya Bayan memasuki ruangan agungnya, Dio.
“Lo kemana aja? Telat banget!”
“Sowri, tadi nge-treat anak magang dulu, gue.”
“Ck, emang nggak ada yang lain?”
“Ketua tim divisinya gue, Benua. Jadi nggak boleh gitu, kan lo sendiri yang buat peraturan. Kalau ada anak baru meskipun anak magang sekalipun harus ketua timnya kan? Ada SOP-nya loh. Berhubung anak magangnya di divisi gue, jadi gue kan yang nanganin. Terus, Lai juga udah konfirmasi ke gue jauh - jauh hari sebelum anak magang itu masuk.” Bukan Bayanaka Aswin, kalau tidak menjelaskan dengan panjang kali lebar.
Dio hanya diam. Tidak menyela atau memarahi Bayan seperti di awal. Karena ingin segera selesai, Dio pun mengambil berkas yang akan dibahas sama Bayan. Dio sedikit menjelaskan akar dan maksud projek itu, kemudian di jawab Bayan dengan anggukan, paham.