Bayan mewanti - wanti Asa agar jangan pulang dulu, Bayan bilang dia mau ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada gadis itu.
Asa sedikit khawatir dengan apa yang akan disampaikan Bayan padanya. Apalagi kejadian pagi tadi masih membekas apik dalam dirinya. Hanya karena kebaikannya ingin membantu orang, berujung nestapa untuknya.
“Huft... sebenarnya Cap Bayan mau ngomong apa ya?” ucap Asa dalam batinnya yang diiringi dengan helaan napas yang panjang.
Cukup lama dia menunggu, sesekali Asa lihat jam arloji yang melingkar manis di tangannya. Dan ternyata... tiga puluh menit telah berlalu namun Bayan tak kunjung keluar juga. Padahal tadi pamitnya hanya sebentar, atau memang sebentarnya ala Cap Bayan memang selama itu.
“Lame – ira.” Bayan datang dengan napas yang terengah – engah. Pasti pria itu berlari ketika perjalanan ke sana─ ke tempat Asa, di lobi. Asa yang melihat Bayan yang seperti itu, malah jadi panik. Soalnya takut terjadi apa – apa sama pembimbingnya itu.
“Cap Bayan nggak apa – apa?”
Masih dengan napas yang belum teratur Bayan menjawab, “harusnya saya yang tanya gitu sama kamu.”
“Emangnya saya kenapa, Cap? Saya nggak apa kok.”
“Kamu udah nungguh lamakan pasti?”
“Lumayan sih Cap.” Jawab Asa jujur.
“Nah itu, maksud saya. Saya ndak mau kamu kenapa - napa.” Asa menautkan kedua alisnya, dia bingung dengan maksud yang dituturkan Bayan padanya. Terjadi apa – apa nih maksudnya gimana? Asa rasa dia aman – sentosa kok, kan nggak ada rampok juga. Apalagi penculik atau sejenisnya, Asa rasa nggak akan pernah ada. Harusnya Cap Bayan cukup minta maaf atas keterlambatannya saja sudah lebih dari cukup. Nggak perlu sampai heboh banget seperti itu. Karena jujur Asa capek nunggu bukan mau sampai yang semaput karena kelaparan ataupun tremor seluruh badan akibat ditodong pisau sama perampok.
“I’m fine. Cap Bayan nggak perlu sampek segitunya.”
“Syukurlah, saya takut kamu lemas atau sejenisnya karena terlalu lama menunggu. Saya tahu kamu belum makan siang, dan itu yang buat saya khawatir. Takut kamu semaput?”
Asa cukup tercengang dengan apa yang dikatakan Bayan tadi, kenapa sampai segitunya? Iya memang benar Asa nggak boleh meninggalkan makan, ketika jam makan tiba Asa harus makan. Kalau tidak, dia akan lemas dan akan berujung pingsan kalau Asa nggak sanggup lagi menahannya.
Tapi kok Bayan bisa tahu? Awalnya Asa hanya sedikit kaget tapi setelah ditelaah dengan segenap rasa. Asa jadi kaget banget. “Loh kok Cap Bayan tahu?!” Asa berseru cukup histeris.
“Ayo cari makan dulu, ceritanya nanti aja.” Bayan menukasnya dengan mengajak Asa pergi makan.
***
Rencananya, Bayan ingin mengajak Asa pergi makan ke salah satu resto langganan dia. Berhubung lokasinya cukup jauh dari perusahaan, akhirnya Bayan memutuskan mangajak Asa di salah satu warung soto eksklusif depan perusahaan. Kenapa Bayan menyebutnya eksklusif? Yaa karena mahal soalnya satu mangkok soto original (nggak ada tambahan apapun) harganya dua puluh lima ribu. Padahal jaman dia kuliah dulu (di yogya) satu mangkok soto harganya mentok di harga sepuluh ribu, kalau tambah sate ati paling lima belas ribu.
“Kamu makan apa, Sa?” tanya Bayan pada Asa, sesampainya mereka di warung soto yang Bayan tuju.
Karena merasa nggak enak dan bingung, Asa menjawabnya seperti orang pada umumnya ketika diajak makan orang tanpa rencana. “Terserah Cap, aja.”
Bayan menggerlingkan mata dan berdecak selesai Asa ngomong gitu, “di sini nggak ada makanan terserah. Lameira.”
Si gadis hanya nyengir doang, “maksudnya, samaain sama Cap aja, heheh.”
“Beneran? Nggak mau lainnya? Kalau saya pesan soto mambu kamu juga mau?”
“Heheh, iya nggak apa – apa. Kan kalau sakit perut ada temennya.”