Hidup adalah keberanian. Bukan hanya keberanian untuk mengambil keputusan tapi juga keberanian meletakkan keputusan.
-Alea Anjani-
**
“Saya harap ini bimbingan terakhir ya Lea, semoga bulan depan bisa sidang,” perkataan dosen pembimbingku masih terngiang jelas di kepalaku. Aku melihat tumpukan kertas coretan revisiku beberapa bulan ini. Kembali mengingat susah payah dan tahan bantingku dalam proses ini. Sudah sejauh ini ternyata jatuh bangun yang telah terlewat. Aku berdiri lalu berjalan ke arah kaca besar di kamarku, menatap penuh makna diriku sendiri. Ingin rasanya kudekap sendiri diriku, ingin kubisikkan banyak terima kasih dan ribuan maaf karena sering kali tidak dengan baik kuperhatikan.
Aku kembali berjalan menuju ruang foto pribadiku, jangan di bayangkan ruangku berisi berbagai peralatan fotografer dan segala pernak perniknya karena bukan seperti itu. Kusebut ruang foto karena ruangan ini hanya satu kotak kecil dan bertempat di dalam kamarku. Seluruh dinding tertata rapi foto hingga penuh tak bersekat. Selain tempelan foto aku hanya meletakkan meja dan kursi di sudut ruangan untuk kugunakan sekedar menonton film di laptop atau bersantai dengan secangkir teh panas.
Di tembok sisi kiri khusus untuk potret diriku dan orang tuaku, Baba dan Mama. Sampingnya potret bersama keluarga besar yang lain, kenapa tidak di jadikan satu dengan Baba dan Mama? Meski sama-sama kusayangi tapi posisi dan letaknya di hidupku berbeda tempat. So, aku menempatkan di dinding yang berbeda pula. Di sisi selanjutnya aku bersama dengan adik-adikku, anak-anakku, dan teman berjuangku. Siapa mereka? Mereka adalah para anak-anak panti yang sudah hampir enam tahun ini kukenal. Kemudian banyak sekali potret diriku dengan teman-teman masa sekolahku sedari taman kanak-kanak sampai mahasiswa, dengan wajah teman berbeda-beda pastinya. Yang kulihat pertama kali adalah wajah Bara, dari dia masih jadi kakak kelasku di SMA sampai sekarang dia jadi seniorku sebagai mahasiswa pascasarjana. Ada Ify juga yang sudah sekitar empat tahun bersahabat denganku.
Aku berjalan keluar melirik sekilas dinding kamar bercat putih bersih yang bertuliskan ‘you and me’ itu, meski aku tidak pernah mengenal istilah pacaran dalam hidupku tapi aku juga perempuan yang memiliki angan menikah bersama laki-laki impianku. Dan dinding ini kelak adalah tempat yang akan kujadikan saksi potret kami.
Aku kembali duduk di depan laptopku, membaca sekilas apa yang sedang aku tulis. Menghela nafas sejenak lalu kulanjutkan dengan mantap, “Bismillah.”