“Ale..” teriak seseorang memanggilku, sebenarnya Ale bukan nama panggilanku. Hanya saja manusia rese itu selalu memanggilku seperti itu, biar beda dari yang lain katanya.
“Apa sih bar-bar?” tanyaku sebal, bagaimana aku tidak sebal dia teriak di koridor kampusku membuat perhatian setiap orang beralih.
“Kamu tuh emang sengaja jelekin aku di depan mahasiswa lain ya Le,” marahnya padaku setelah berdiri tepat di sampingku.
Aku mengernyit bingung, bagaimana bisa aku yang membuatnya malu. Toh jelas-jelas dia yang teriak. Menyebalkan sekali bukan manusia ini?
“Kebalikkkk bara, yang harusnya sebel kan aku. Kenapa kamu yang sewot sih,” aku berjalan mendahului Bara yang masih berdiri di tempat kami mengobrol tadi.
Aku tahu Bara memang paling sebal ketika aku memanggilnya seperti tadi, tapi aku pun punya alasan seperti dia ‘biar beda dari yang lain’. Haha.
“Ale kamu tuh mau ke mana sih? Buru-buru banget,”
Langkahnya sudah sejajar denganku, aku mendongak sebentar. “Aku mau jemput Baba bar.”
“Mau aku anter nggak? Udah lama aku nggak ketemu Baba.”
Bara memang sudah beberapa kali bertemu dengan baba dan mama, jadi tidak heran jika dia mengenal baik orang tuaku.
“Kamu kan ada kelas bar? Udah sana kelas aja. Calon magister gak boleh males!” Kataku sok galak. Bara memang sedang menempuh kuliah magister di kampus yang sama denganku, meski berbeda gedung dia kerap menyusulku jika luang.
“Iya nanti pasti lulus tepat waktu Le, kamu tuh kapan mau jadi sarjana?”
Aku menghela nafas sejenak, manusia satu ini memang pikun atau memang pura-pura lupa. Padahal sudah berkali-kali aku bahas menjelaskan apa yang akan menjadi tujuanku ke depan.
Mungkin bagi bara keputusan yang akan aku ambil hanya guyonan, padahal itu memang rencana matangku.
“Sudahlah bar,” Aku kembali mempercepat langkahku menuju area parkir kampus, mencari jazz hitamku. Hari ini memang jatahku memakai mobil, sebenarnya ini bukan aku banget. Aku lebih suka pergi ke mana pun dengan motor maticku tapi karena hari ini hari rabu, hari yang sudah di tetapkan baba sebagai hari aku mengantar jemput beliau jadi mau tidak mau aku harus memakai mobil.
**
Aku turun dari mobilku setelah tiba di tempat kerja baba, seperti biasa aku menunggu di lobi utama kampus. Aku sudah biasa ditatap aneh para mahasiswa yang berlalu lalang setiap kali menunggu Baba di kampusnya, mungkin mereka berpikir bahwa bagaimana bisa aku dengan celana panjang jins dengan atasan kemeja panjang dan rambut terikat satuku berada di kampus Islam yang mahasiswinya wajib menggunakan hijab.
Beberapa menit berlalu, aku melihat Baba berjalan keluar dari lift dan berjalan ke arahku.
“Sudah lama nak?” tanyanya ketika aku mencium tangannya.
Aku menggeleng pelan, “belum Ba, baru lima belas menit.”
“Ayo pulang,” aku mengangguk dan berjalan sejajar dengan Baba, banyak mahasiswa yang menyapa Baba dan beberapa ada yang Baba tanyai tentang kabar, perkembangan skripsi dan kapan lulus. Seramah itu memang Baba.