Aku berjalan sendiri di sepanjang koridor kampus, teman-temanku yang lain masih sibuk mengurusi skripsi dan sidang. Sepertinya hanya aku satu-satunya yang tidak sibuk.
“Alea..” Aku menoleh mencari suara yang memanggilku, tidak sampai satu menit aku di hantam pelukan erat sekali.
“Ify,” Sudah kuduga itu pasti Ify, aku sudah kenal betul suaranya. Hampir dua minggu aku tidak melihatnya di kampus karena dia harus pulang kampung ke Jawa Tengah.
“Gila sih Le, kangen banget sama kamu.” Ify masih betah memelukku di tengah koridor seperti ini. Engap sekali rasanya.
“Engap tau gak sih Fy,” aku menatapnya sebal, mana di tengah koridor seperti ini.
“Ihh Lea mah gitu, gak asyik!” Aku tertawa melihat Ify kesal seperti itu. Lucu sih kapan lagi buat dia sebal.
“Iya sini-sini miss you too babe,” aku kembali memeluknya erat. Segila ini sih kita di tengah koridor kampus.
“Ih jijik adek Ify tuh,”
Kita tertawa sepanjang koridor kampus tidak peduli tatapan orang-orang toh kita mahasiswa semester tua. Setelah itu kita menuju kafe depan kampus yang sedari dulu sudah menjadi tempat favorit kita.
“Habis ini aku mau ke dosbing -dosen pembimbing- Fy.” Ify terkejut dengan apa yang aku katakan. Seketika kegiatan mengunyah flatbreadnya berhenti dan menatapku tajam, berbeda denganku, aku hanya tersenyum simpul menanggapi Ify.
“Jangan biarkan pikiranku benar Le, kamu ke dosbing buat ngurus sidang dan lain-lainnya kan,” aku paham Ify tahu benar apa yang akan aku lakukan, dia mengenalku bukan baru satu dua tahun.
“Bukan Fy, aku yakin kamu tahu.”
Ify meletakan perkakas makannya dan menepikan makanannya ke sudut meja. Tatapannya berubah serius dan penuh pertanyaan.
“Oh ayolah Lea, jangan begini. Aku baru saja kembali pulang kampus dan kamu malah menyuguhkan aku kabar begini.” Ify mengalihkan pandangannya dariku, “Fy, kamu tahu aku.”
“Kenapa sih Le, kamu nggak boleh egois! Keputusan macam apa yang kamu ambil itu Le,” aku tidak terkejut dengan tanggapan Ify, dari awal memang dia tidak setuju dengan keputusanku. Tapi aku tetap kekeh mengambil keputusanku.
“Fy, itu udah pilihan yang aku ambil. Bahkan sudah sejak dulu kan?”
“Le, kamu itu cerdas, kamu perempuan dengan pola pikir hebat. Tolonglah beri apresiasi pada diri kamu sendiri,” Ify berhenti sejenak, “ Anggap saja gelar sarjana adalah bentuk kamu berterima kasih pada diri kamu atas apa yang sudah kamu perjuangkan,”
Aku diam menatap Ify, bukan aku tidak mencintai diriku sendiri bukan seperti itu maksudku.
Aku hanya menyelamatkan diriku dari dunia keras yang berkedok dengan gelar tinggi, dari awal kuliah aku sudah membuat keputusan untuk tidak sampai wisuda bahkan sidang skripsi pun tidak. Lalu untuk apa kuliah? Tidak lain memang hanya untuk pengetahuan dan wawasan. Bagiku tidak sarjana bukan berarti tidak pintar dan tidak berwawasan. Maka dari itu empat tahun aku mencoba banyak berdiskusi dengan banyak orang, mengikuti berbagai organisasi dan ukm -unit kegiatan mahasiswa- untuk bertukar pola pikir dan banyak memahami pemikiran orang yang berbeda-beda setiap kepala.
“Aku sudah siap dengan apa yang akan terjadi Fy, sekali pun aku harus susah payah ke depan. Aku sudah mempersiapkan diri.”
Ify menatapku sebelum akhirnya mengangguk. “Kak Bara sudah tahu?”
Aku mengangguk, “Dari awal Bara memang sudah tahu,” meski Ify tidak begitu dekat mengenal Bara tapi dia tahu betul Bara adalah salah satu sahabat dekatku.
“Kalian lucu ya, yang satu ngebut semangat banget buat sampai magister yang satu nggak mau sarjana.” Kata Ify terkekeh, aku pun.
“Dari awal jalan kita memang beda kali Fy,” oh tidak ini bahasan yang tidak ingin aku bahas.
“Sorry ya Le, kamu malah jadi inget masalah itu,”