Berbagi Hati

Noura Publishing
Chapter #1

Prolog

Nasihat Terakhir

Malam itu ratusan pelayat datang bergantian: pejabat, pengusaha, profesional, aktivis, hingga orang-orang kecil yang tidak dikenal. Tak terbayang olehku betapa banyaknya orang yang akan mengantarnya esok hari ke pemakaman. Tak mampu menahan duka, para pelayat mulai meneteskan air matanya, puluhan anak-anak yatim asuhan beliau menangis. Hebatnya, keluarga beliau tetap berdiri tegak. Tak terlihat air mata yang menetes. Sang ibu memeluk dan menenangkan hati anak-anak asuhannya.

Mereka tidak meratap, apalagi protes pada Allah. Mereka ikhlas suami dan ayahnya dipanggil pulang oleh Sang Pemilik Sejati. Itulah hasil didikan ketulusan dari seorang Houtman Zainal Arifin. Sebuah kepasrahan total atas apa pun yang jadi ketetapan-Nya. Aku sendiri terduduk menangis melihat wajahnya yang bersih, setelah ikut mengangkat keranda jenazah keluar dari mobil. Teringat ribuan jam yang aku habiskan bersamanya. Bagiku, beliau bukan hanya mentor, tetapi sudah kuanggap sebagai ayah keduaku.

Houtman Zainal Arifin adalah seorang petualang kehidupan. Tanpa lelah, beliau menyusuri lorong-lorong gang yang sempit dan becek. Beliau juga telah mendaki tangga gedung-gedung mewah yang indah. Tak terhitung banyaknya hikmah kehidupan yang beliau kisahkan padaku. Di mobil, di pesawat terbang, juga di ruang direksi Kubik Training, tempat di mana kami dulu pernah bersinergi. Di setiap akhir cerita, beliau selalu menutupnya dengan nasihat untukku yang tak hanya membesarkan hati, tetapi juga menusuk-nusuk kalbuku.

Satu bulan yang lalu, aku dan istri menjenguknya di rumah, tepat sebelum terapi kemo yang kedua. Beliau keluar dari kamar dengan kursi roda. Tak ada keluhan yang terucap, yang ada hanya kata syukur. Seperti biasa, beliau mulai bercerita. Kali itu beliau bercerita tentang apa yang dialaminya saat pengobatan. Seperti biasa juga, cerita itu ditutup dengan nasihat. Namun yang tidak aku sadari adalah, nasihat itu adalah nasihat terakhirnya padaku.

Beliau berkata, “Indra, tanpa bermaksud untuk sombong, saya pernah berdiri di puncak gedung termewah di dunia. Saya pernah dielu-elukan atas prestasi saya yang hebat. Saya juga pernah dihormati karena jabatan saya yang tinggi, juga dipuji karena saya dianggap sebagai teladan kemuliaan. Tapi, Indra, bukan itu yang jadi kebanggaan saya.

Lihat selengkapnya