Malam itu, Oktober 1988, belasan mahasiswa seperti biasa bertandang ke rumah. Kali ini, mayoritas dari mereka adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran dari perguruan tinggi negeri dan swasta. Mereka datang untuk meminta kesediaanku mendampingi mereka saat menjalankan program bantuan kesehatan, paket sembako, dan pakaian bekas layak pakai di daerah Labuan, yang kini merupakan bagian dari Provinsi Banten.
Aku sadar tidak akan berperan banyak dalam kegiatan tersebut. Pertama, karena aku tidak mengerti tentang seluk-beluk kesehatan, apalagi pengobatan. Kedua, aku sendiri takut setengah mati melihat jarum suntik atau darah yang mengucur. Namun, para mahasiswa tadi mendesak. Agar ada orangtua yang menjadi acuan pertimbangan, begitu kilah mereka. Istilah kerennya: grey hairs have certain value. Sebuah pernyataan yang menggelitik setiap kali aku bercermin memandang rambut perak yang baru beberapa helai menghiasi kepalaku.
Akhirnya aku menyetujui permintaan mereka. Pada hari yang ditentukan, aku pun berangkat bersama istri tercinta untuk menghindari kejenuhan. Kami berangkat pada hari Minggu, sedangkan para mahasiswa telah berangkat sehari lebih dulu untuk melakukan persiapan.
Pusat kegiatan dilakukan pada sebidang tanah dengan luas sekitar 5 hektar di tepi pantai, menghadap pulau-pulau kecil di tengah laut. Sembari melakukan pendampingan, aku juga bercakap-cakap dengan para panitia dan penduduk setempat. Setelah beberapa lama, aku mengetahui ternyata tanah luas itu milik sobat lamaku, seorang petinggi salah satu bank di Jakarta ketika itu. Rupanya, temanku ini selalu menjadi sponsor dan pendukung segala bentuk kegiatan sosial seperti yang akan kami selenggarakan ini.
Pola kerja remaja dan mahasiswa itu terbukti terencana dengan rapi dan apik. Meski mereka datang dari latar belakang dan perguruan tinggi yang berbeda, koordinasi dan pembagian kerja tersusun dengan baik sehingga semua berjalan dengan sendirinya. Pendek kata, mereka boleh mengaku dirinya sebagai tenaga profesional.
Sebagian anak-anak remaja sibuk melakukan pendaftaran penduduk dewasa dan anak-anak secara saksama. Hasil pendaftaran kemudian diserahkan ke bagian kegiatan masing-masing. Sambil menunggu bagian medis melakukan persiapan, beberapa remaja mengajak anak-anak kecil belajar dan bermain. Mereka menyanyi, melukis, main anak ayam diserang si burung elang, main dampu, main tarik tambang, dan lain-lain.
Tidak ada satu pun pekerjaan yang terbengkalai atau bertele-tele. Aku benar-benar nyaris tidak kebagian peran, kecuali memberi kata sambutan pada acara pembukaan dan doa. Sisanya sudah beres.
Satu hal yang amat kukagumi dari para mahasiswa ini, mereka tidak punya rasa canggung sama sekali menyentuh dan bersinggungan dengan penduduk di sana. Keikhlasan dan ketulusan mengalahkan perasaan ketidaknyamanan. Maaf saja ... padahal dari jarak sepuluh meter anak-anak penduduk tersebut mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Bahkan para mahasiswa ini tidak ragu berhubungan dan menyentuh seorang anak, yang mulai dari ujung kepala sampai kaki penuh dengan luka basah bernanah.
Selain pengobatan, para mahasiswa itu juga melakukan penyuluhan bagaimana cara hidup sehat, membagikan bahan-bahan sembako, membagikan mainan anak-anak, dan juga pakaian-pakaian yang tampak seperti baru. Sudah tentu, wajah anak-anak, ibu-ibu, dan sebagian kecil bapak-bapak nelayan yang kebetulan tidak melaut, memancarkan kegembiraan yang tidak terkira.
Perhatianku teralih pada istriku yang rupanya turut menikmati kegiatan tersebut alih-alih sekadar menemaniku. Saat itu dia tengah membujuk salah satu pasien anak. Anak itu bernama Asmani, dia menderita cacat di wajah. Tepat di batang hidungnya terdapat benjolan besar. Pantaslah kalau sejak tadi dia enggan bergabung dengan yang lain. Memiliki wajah mengenaskan seperti itu tak pelak dapat membangkitkan rasa rendah diri yang luar biasa hebatnya. Percakapan antara istriku dan Asmani boleh dikatakan berlangsung satu arah. Seluruh pertanyaan istriku dijawabnya dengan anggukan atau gelengan kepala.
“Pak, mari kita tolong anak ini. Jika kita berhasil menolongnya, maka dua tujuan tercapai sekaligus. Fisik si anak sembuh dan mentalnya pun bertambah baik. Hilangnya benjolan di wajahnya pasti akan membangkitkan rasa percaya diri,” bisik seorang mahasiswi yang melihatku tengah memerhatikan istriku.
“OK. Tetapi, kita harus tanya dulu anak ini apakah dia bersedia ikut dengan kita. Setelah itu, kita harus mendapatkan persetujuan orangtuanya. Jika perlu, buat surat pernyataan tertulis yang disaksikan kepala desa. Paling tidak mereka menyadari dan menyetujui Asmani diobati dengan segala risiko yang mungkin terjadi.”
“Sebelumnya anak ini sudah mengatakan mau ikut dengan kita. Anak itu sebenarnya tidak bisu dan tuli. Dia hanya tidak mau bicara,” imbuh mahasiswi itu lagi.
Selanjutnya, kami bersama-sama mendatangi orangtua anak tersebut. Tepat di penghujung sawah, si anak cacat itu sudah berdiri dengan memeluk bungkusan kertas koran. Aku agak lega karena kertas koran yang pasti berisi baju itu merupakan tanda bahwa Asmani benar-benar ingin ikut bersama kami. Aku segera turun dari kendaraan, dan menyapanya, seraya bertanya di mana rumahnya. Rupanya, kedatangan kami sudah ditunggu oleh Bapak Kepala Desa.
“Pak, saya adalah kepala rombongan adik-adik mahasiswa dari Jakarta yang sedang melakukan kegiatan pengobatan dan kesehatan di desa ini. Kebetulan anak Bapak juga ikut bergabung dengan kami tadi, dan ingin berobat sampai sembuh supaya wajahnya baik seperti anak-anak atau saudara-saudaranya yang lain. Nah, pertanyaan saya, benarkah ini anak Bapak? Lalu kalau tidak keberatan, tolong ceritakan bagaimana riwayatnya hingga dia bisa seperti ini? Dan apakah Bapak mengizinkan kami membawa anak ini untuk memenuhi permintaannya?”
Pak Sukri, ayah anak itu, menerangkan Asmani memiliki lima saudara kandung. Asmani adalah putra sulungnya, dan sebenarnya dia bukan anak-anak lagi menurut ukuran desa sini. Badannya memang seperti anak-anak, tetapi adik-adiknya yang perempuan sudah berkeluarga dan bahkan sudah memiliki anak. Memang, jika mengikuti kultur di desa, anak laki-laki seperti Asmani seharusnya juga sudah memiliki anak.
“Waktu dilahirkan, badannya sehat seperti anak-anak biasa yang lain. Baru sekitar umur lima tahun ada benjolan kecil seperti jerawat di hidungnya. Makin lama makin besar sampai menutupi seluruh hidungnya. Setelah membesar, Asmani sudah mulai tidak ikut bermain dengan teman-temannya. Saking malunya, dia jarang sekali ngomong dan disangka tidak bisa ngomong alias gagu. Kerjanya sehari-hari hanya main sama kerbau. Dia tidak pernah kenal sekolah. Maka dari itu, saya senang dan cuma bisa bilang terima kasih dan bersyukur pada Tuhan kalau ada yang bersedia membantu menyembuhkan Asmani. Saya dan istri ikhlas dan ridho.”
Bapak Kepala Desa pun menambahkan ungkapan rasa terima kasih atas nama warganya. Dengan cepat, dia membubuhkan tanda tangan sebagai saksi.
Aku pun bergegas melakukan tindakan selanjutnya, sekembalinya dari Labuan. Kebetulan aku bertetangga dengan salah satu dokter senior di Rumah Sakit Umum Pusat Ciptomangunkusumo. Oleh karena itu, Senin pagi aku sudah mendapatkan surat pengantar untuk langsung membawa Asmani ke RSUP. Dokter yang menanganinya sangat cekatan. Dia bahkan langsung memberikan rekomendasi untuk memesan kamar ruang bedah anak, menjelang pemeriksaan final dan keputusan operasi.
Dokter itu pula yang kemudian menjelaskan bahwa tindakan medis yang akan dilakukan terdiri dari dua tahap. Pertama, membedah tengkorak kepala dari sisi kiri dekat telinga sampai dengan sisi kanan untuk menutup lubang yang bocor di dekat hidung. Tindakan pertama ini termasuk operasi besar dan akan memakan waktu agak lama.
Setelah hasil operasi pertama dinilai memuaskan, pasien akan dipersilakan pulang sambil berobat jalan. Sementara itu, gizinya harus terus ditingkatkan. Tindakan kedua, yang baru akan dilakukan kira-kira dua bulan kemudian, berupa operasi plastik. Operasi ini akan mengambil tulang iga di dalam perut, yang selanjutnya digunakan untuk membentuk batang hidung.
Keesokan harinya, aku masuk kantor sebagaimana biasanya. Terlintas di benakku berapa dana yang diperlukan. Mendadak aku tersadar akan sesuatu dan terpaku. Ceroboh sekali aku ini. Operasi ini adalah peristiwa besar. Ada nyawa yang menjadi risikonya.
Dokter sudah menjelaskan dengan rinci, tindakan medis yang akan dilaksanakan merupakan operasi besar dan memakan waktu cukup lama. Membongkar tempurung kepala! Belum lagi dengan perawatan pascaoperasi yang memakan waktu berbulan-bulan. Tak terbayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan. Aduh bingung ... mengapa aku begini bodoh dan ceroboh.
Begitu perasaan cemas sampai pada titik puncak yang merisaukan, aku merasa perlu mendapat dukungan moral dari narasumber terdekat, istriku. Segera kuangkat gagang telepon dan berbicara dengan istriku.
“Bu, kita lupa menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk Asmani. Kita sudah membawa dia ke sini, padahal kita tidak punya persediaan dana penunjang. Bagaimana, ya?”