Kumandang azan shalat Isya telah lama berlalu, menandakan sudah waktunya bagi sebagian orang menghentikan kegiatan sehari-hari. Ismail Said, Andjar Malik, dan aku baru saja membereskan sisa bahan-bahan materi pendidikan dan latihan yang diselenggarakan untuk tenaga medis dan karyawan rumah sakit di kawasan Cempaka Putih.
Aku diminta menjadi konsultan sistem manajemen di rumah sakit ini selama tiga tahun. Tugas ini kemudian berkembang ke ranah komputerisasi, peningkatan mutu layanan, pembenahan sistem keuangan, dan mencari dana untuk membuat bangsal eksekutif. Semua dilakukan dengan metode seminar dan pelatihan.
Seusai melaksanakan shalat Isya, kami bergegas membenahi diri, mengumpulkan kertas dan bahan training, yang diadakan sejak pagi hingga malam ini.
Suasana hening perlahan-lahan menyelinap ke dalam ruang aula. Suara lembut sayup-sayup berasal dari embusan angin masuk di celah-celah daun pintu dan jendela, diselingi bunyi “cuitan” belalang malam sesekali. Sungguh berbeda sekali dengan suasana di siang hari tadi, ketika pendidikan dan latihan sedang berlangsung. Celoteh para peserta penuh dengan canda tawa riang, sekarang sudah tidak terdengar lagi. Kini yang tinggal hanyalah sunyi dan sepi.
Apakah suasana rumah sakit di malam hari selalu seperti ini? Ataukah karena ruang aula tempat kami berada tidak jauh letaknya dengan kamar jenazah sehingga membuat semua orang enggan berbicara? Bulu kuduk pun langsung meremang. Entahlah, satu hal yang tidak dapat kubantah, rasa penat yang mulai merambat, menyerang semakin hebat.
“Dahulu, kita mampu berdiri mengajar tujuh jam selama tiga hari berturut-turut nyaris tanpa jeda, tanpa keluhan apa-apa. Pendek kata, gagah lagi perkasa. Apakah ini yang dinamakan memasuki proses memasuki usia senja dan semua sendi-sendi tubuh menjadi renta?” celetuk Ismail berupaya mengusir keheningan.
“Sekarang, ibu jari kaki sudah mulai kesakitan, pinggang sukar digerakkan, punggung terasa tidak keruan, kerongkongan mudah sekali merasa kering kehausan. Sepertinya tubuh ini menjadi manja, mudah sekali lelah, mudah sakit ...” gumamnya lagi tanpa mengharap jawaban.
“Masa lalu adalah kenangan, masa sekarang adalah kenyataan, masa depan adalah harapan. Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang. Kondisi dulu tentu tidak bisa disamakan dengan kondisi sekarang. Kita harus sadar. Kudu eling, kudu ikhlas. Bukankah kita sudah diberi kesempatan mereguk segala kenikmatan. Dahulu kita kuat dan siap menerima perintah bekerja kapan saja, demi karier untuk menabung di hari tua. Sekarang masanya istirahat. Meski kita belum juga memiliki tabungan yang banyak, tapi kita masih diparingi badan sehat, pikiran sehat, seluruh anggota keluarga juga sehat, dan tidak kalah pentingnya … hati yang sehat. Alhamdulillah. Dalam kondisi seperti ini kita masih mampu berbagi ilmu dan pengalaman dengan terhormat.” Kini giliran Andjar menimpali.
“Iya deh. Nggak percuma punya senior seorang kiai. Tapi, sekarang ada yang lebih penting lagi, yaitu cepat beres-beres dan cabut ... angkat kaki. Soalnya perut sudah tidak dapat diajak kompromi. Yah kita bersabar sebentar. Dari sini kita naik taksi ke kawasan Pasar Senen. Di dekat bioskop Kramat dan pul bus PPD, banyak kedai warung Padang. Berbagai jenis lauk sudah menanti kita. Ini namanya, sabar dalam penantian, akan berujung keberkahan,” gurau Ismail.
Aku sendiri memilih diam tidak berkomentar. Rasa letih yang merasuk tubuh bukan kepalang membuatku malas berbincang. Wajarlah, di antara kami bertiga, akulah yang paling tua.
Dari lokasi aula yang berada di penghujung rumah sakit, kami harus berjalan menyusuri lorong yang gelap di antara bangsal-bangsal tempat rawat inap. Dorongan ingin segera pulang mempercepat ayunan langkah menuju pintu gerbang. Ada keinginan untuk mempercepat langkah, atau bahkan berlari, tetapi apa daya, tenaga tidak ada. Ah, sudahlah, hidup tidak boleh dipaksa, tidak boleh ngoyo, begitu pepatah orang Jawa.
Bayang-bayang segera sampai di rumah menari-nari di pelupuk mata. Air hangat yang membasuh ujung kepala hingga jari kaki, membuat sekujur tubuh terasa segar kembali. Setelah itu langsung ke meja makan menyantap hidangan yang telah tersedia, selanjutnya beralih ke kamar tidur untuk merebahkan diri, melupakan segala kepenatan. Sungguh nikmat!