Pengadilan Negeri Cilacap
Cilacap, Jawa Tengah
17 Maret 2017
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana mati."
Tok tok tok
Hening, sesaat setelah putusan hakim diterima. Pria paruh baya yang duduk di kursi pesakitan itu menatap nanar ke depan. Sorot matanya tertuju pada Hakim Ketua yang beberapa detik lalu mengetuk palu.
Raut wajah yang terlihat begitu datar untuk seorang manusia yang baru saja mengabarkan berita yang teramat buruk pada seorang anak manusia. Pria berkaca mata itu masih nampak tenang, sementara pria yang terlihat lebih tua yang duduk di sampingnya berbisik pelan seraya menunjukkan berkas-berkas yang ada di tangannya.
Pasca 1 menit 15 detik keheningan itu. Suasana mendadak riuh oleh teriakan empat orang wanita yang duduk di kursi penonton. Mereka berteriak histeris, meraung seperti binatang yang sedang kesakitan, bahkan salah seorang diantaranya jatuh pingsan.
"Abang... enggak mungkin, Bang! Abang...!" Wanita yang pingsan itu berteriak, tubuhnya terkulai lemas.
"Tolong dibantu, ada yang pingsan!" Ujar seorang pria yang berdiri tiga langkah di hadapan wanita itu.
"Pak Hakim! Tolong berikan keringanan, Pak Hakim! Istrinya sedang hamil, anaknya masih kecil-kecil. Tolonglah Pak Hakim! Siapa yang memberi makan anak-anaknya, Pak Hakim?" Seorang wanita paruh baya berkerudung merah berteriak memohon belas kasih.
Seolah tak percaya dengan apa yang akan menimpa menantunya, ia menangis sejadi-jadinya sambil menepuk-nepuk dadanya. Semua orang menatap pilu, termasuk beberapa wartawan yang hadir meliput berita hari itu.
Manusia yang memiliki perasaan yang lembut, tentu akan merasa iba. Melihat seorang ibu yang menangis histeris di persidangan anaknya yang menerima vonis mati. Hati siapa yang tidak akan hancur, melihat seorang wanita yang tengah hamil tua dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa suami yang dicintainya akan pergi meninggalkan dirinya dan kedua anaknya yang masih kecil.
Berat, ini adalah tugas yang sangat berat. Tapi ini adalah keadilan, mengingat dosa yang sudah pria itu lakukan. Benar, dia pantas menerimanya.
"Dia pantas menerimanya, bukan begitu?" Seorang pria paruh baya bertubuh gempal menepuk pundak Lukman yang sejak persidangan berakhir terus diam tanpa kata.
Pria ini menahan tawa, melihat betapa getirnya wajah Lukman yang selalu berekspresi datar itu. Ini adalah kali ketujuh ia menetapkan hukuman mati pada seseorang sepanjang karirnya sebagai seorang hakim. Namun jiwanya yang rapuh terkadang merasa bersalah dan sakit.
"Mas Baim, ada apa, Mas?" Tanpa Lukman. Ia melepaskan kaca matanya yang mulai berembun dan menyekanya dengan sapu tangan yang ia keluarkan dari saku kemejanya.
"Tidak ada yang perlu disesali. Kau sudah melakukan sesuatu yang benar. Lagi pula, semua itu sudah diatur oleh hukum di negara kita. Jadi, kau tidak perlu terlalu terbawa perasaan hanya karena mendengar tangisan keluarga terdakwa."
"Bukan begitu, Mas. Hanya saja saya selalu teringat-"
"Emakmu, iya toh?" Ibrahim yang sudah dianggap kakak sendiri oleh Lukman tampaknya bisa memahaminya lebih dari yang ia tahu.
Lukman tak mampu melanjutkan, bukan karena ia kehilangan kata-kata. Melainkan karena ia tahu bahwa kelemahan terbesarnya adalah ibunya.
"Man, dalam hidup memang banyak lucunya. Hari ini kita tertawa, besok kita bisa saja menangis. Jadi, jangan terlalu dipikirkan. Jangan sampai rasa bersalahmu menganggu tugasmu dalam menjalankan tugas. Ingat, Man. Menjadi seorang hakim itu tanggung jawabnya sangat besar. Kau pasti ingat hadis Rasulullah yang mengatakan bahwa Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga. Pertama, seseorang yang menghukumi secara tak benar padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka. Kedua, seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka dan yang ketiga, seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga."
"Kira-kira kedudukanku di akhirat nanti yang mana ya, Mas?"
"Ya mana kutahu! Hahahaha... karena itu, lakukan saja tugasmu dengan baik. Biar Allah yang memutuskan, kau berada digolongan yang mana." Ucapnya sambil tertawa.
Lukman mengela nafas, mengobrol sejenak dengan pria satu ini cukup membuatnya merasa sedikit lebih baik. Meskipun bayangan wajah pria yang menerima vonis satu jam lalu masih terbayang jelas di pikirannya. Sorot mata yang redup, seolah menunjukkan ketidakpercayaannya atas apa yang menimpa hidupnya.
Tit tut tit tut
"Man, hp-mu bunyi tuh!" Tegur Ibrahim atau Mas Baim seperti yang biasa dipanggil Lukman.
Ibrahim meneguk air dari botol di tangannya, sementara Lukman masih saja memikirkan apa yang sudah ia lakukan. Mendengar teguran Ibrahim, Lukman langsung mengambil ponsel di saku kemejanya. Di layar ponsel, tertulis nama 'Sartika' adik perempuannya yang sudah memiliki janji yang penting dengannya, namun tak sengaja ia lupakan.