“Apa kau tahu, dari mana asal dari semua penderitaan manusia? Yaitu dari hatinya, ketika hati dipenuhi oleh kedengkian, oleh keserakahan, maka kau tak akan pernah merasakan sedikit pun kebahagiaan.”
🥀~Black Rose~🥀
Dersik angin dingin menyebar ke setiap jengkal ruangan, membelenggu erat seonggok daksa yang tergolek rapuh di atas genang merah darah, suara berderak dari plafon rimpuh yang tertebas kencangnya hiruk pikuk angin malam sama sekali tak mengusik tidur lelapnya, ia masih setia mengembara di alam mimpi yang saat itu terlihat sunyi sekali.
Burung gagak menjelajahi cakrawala, kepakkan sayapnya yang sehitam jelaga terdengar sangat riuh, seriuh suara percakapan di antara mereka yang terdengar seperti kidung duka cita pada kelengangan malam penuh air mata. Salah seekor dari mereka bertengger pada plafon reot bangunan terbengkalai itu, memandangi dua insan yang sama-sama menutup mata namun dalam kondisi yang berbeda, salah satunya benar-benar telah kehilangan jiwa dengan seutas tali tambang yang melingkari lehernya, dan yang satunya lagi hanya sedang tertidur lelap dengan genang darah yang membalut hampir separuh tubuhnya.
Pijar indah dari binar rembulan memaksa masuk melalui atap tua yang telah menganga, sinar sendunya menerpa wajah si pria yang sudah dipenuhi jejak rudira. Bagai cahaya dari surga, terang sinarnya mampu membuat pria itu terbebas dari tidur panjangnya, ia perlahan membuka mata dan kembali memandang suram dunia yang ditinggalinya. Matanya yang dipenuhi elegi menatap lurus pada seekor burung gagak yang mendadak terbang dengan suara lantang yang menakutkan, kembali menjelajahi jumantara yang kala itu masih berwarna sehitam arang.
Hanya nestapa duka yang kala itu ia rasakan ketika memandang purnama sempurna yang menaungi dirinya, kehampaan terasa lagi, kebingungan menggelayuti hati. Rasa risau membuncah dari dalam diri ketika ia menatap telapak tangannya yang sudah dilapisi oleh darah, kegilaan dari rasa takutnya berdesir hebat merasuki atma.
Daksanya sontak terbangun, ia memandang sekeliling dengan perasaan ngeri yang mendadak hidup. Degup jantungnya seakan terpacu oleh waktu ketika netranya menangkap dengan sempurna wujud mengerikan dari seonggok jasad pria yang tergantung kaku di hadapannya, darah yang merembes deras dari daksa mati itu menggenangi lantai penuh debu di bawahnya.
Pria itu spontan menatap lagi kedua tangannya yang berwarna merah, bulir air matanya yang serupa embun sontak terjatuh, ketika ia melihat sekuntum mawar hitam plastik dan sepucuk surat yang bersanding dengan dua buah tangan manusia yang sudah terlepas dari tubuh pria yang tergantung di hadapannya.
Kakinya terasa lemah bagaikan tanpa tulang, tubuhnya yang semula berdiri lunglai kini harus kembali jatuh terduduk dengan segala pikiran buruk yang merajam kepala, nalarnya seakan dicabut paksa, pria itu menangis tanpa suara.
Ia tenggelam dalam ketakutan, bahkan suara derap kaki dari banyak orang yang terdengar tengah berlari ke arahnya tak mampu mengeluarkannya dari lubang hitam yang ia ciptakan.
“ANGKAT TANGANMU!!!”
Hingga kalimat perintah yang terdengar seperti sebuah ancaman mampu menyadarkannya secara paksa, ia perlahan memutar lemah kepalanya. Sosok dirinya yang saat itu tak ubahnya seperti sesosok monster mampu menghadirkan keterkejutan bagi semua orang yang kala itu tengah melihatnya, terutama untuk dua orang pria yang berada di barisan paling depan.
Sepucuk pistol yang mereka genggam erat mendadak terasa sangat berat, tubuh mereka seperti tengah kehabisan daya. Air mata memenuhi pelupuk netra, lubang hitam kembali menganga di dalam hati mereka, akal sehat mereka menentang dengan keras segala gambaran buruk yang kini tersaji tepat di depan mata.
Salah satu dari keduanya akhirnya benar-benar terperangkap dalam pusaran air mata saat memandang wajah itu. Hingga bibirnya bergetar ketika mengeluarkan sepatah kata dengan suara lirih, “Kak Derian ... ?”
***
Beberapa Bulan Sebelumnya
Tirai langit sudah berubah sehitam jelaga, gelap kelam tak lagi semenawan ketika sandekala menyapa, meski begitu samudra kegelapan itu masih memiliki beberapa binar berupa gugusan bintang dan sebuah rembulan yang tengah berjuang memamerkan keelokannya, setelah sebelumnya mereka lelah bergelut dengan pecut bercahaya yang tak henti-hentinya menyambar ketika bumantara menumpahkan seluruh tangisannya yang menjelma menjadi rinai hujan di atas bentala.
Di tengah kehampaan malam, seorang pria muda bertubuh jangkung terlihat melenggang di sebuah jalan suatu kompleks perumahan. Rambutnya berwarna hitam pekat, senada dengan warna nayanika miliknya yang menyorot tajam ke mana pun pandangannya mengarah.
Ia menghentikan langkah di depan pagar besi sebuah rumah bergaya klasik bercat putih tulang. Temaramnya lampu jalan menyinari wajahnya dengan remang-remang, matanya perlahan berkaca-kaca, dengan sebuah emosi terpendam yang tak sanggup dibaca. Apakah itu emosi kemarahan? Atau justru emosi kekecewaan dan kesedihan? Ia hanya bergeming di sana selama beberapa saat dengan sebuah perasaan yang menggelayuti hati.
“Oh! Kau cucu nenek Saras, sudah kembali?”
Pria itu membalikkan badannya perlahan. Tampak di hadapannya kini seorang wanita berambut ikal sebahu tengah tersenyum padanya, bukan sebuah senyuman yang ramah, namun sebuah senyuman yang penuh keangkuhan. Dan itu membuat perasaan jijik spontan bersarang di hati.
Pria itu tetap bersikap tenang, ia tersenyum tipis meskipun tak ada segurat pun rona bahagia yang terpancar di wajahnya. “Ya,” balasnya singkat.
“Astaga! Padahal kau sudah lama meninggalkan rumah ini, karena itu kukira kau tak akan kembali lagi sejak ibumu bunuh—” Wanita itu buru-buru menutup mulutnya, seakan tengah menyesali perkataannya, namun entah mengapa wajahnya justru tak memperlihatkan sedikit pun rasa penyesalan. Dan sepertinya pria itu mengetahuinya, senyumnya mendadak sirna, berganti nyala api amarah yang berpendar di matanya.
Namun itu tak berlangsung lama, karena ia segera mengubah ekspresi, bagai seorang aktor profesional dengan cepat pria itu kembali menyunggingkan senyum yang bahkan lebih lebar dari sebelumnya. “Ah, benar juga, aku sudah lama tidak kembali ke sini,” ujarnya. “Oh, bagaimana kabar, Bibi?”
Senyum wanita itu kembali lagi. “Tentu saja baik, bagaimana kabarmu? Kau sama sekali tak terlihat berubah, masih sama seperti dulu.” Ia mengamati pria itu dari atas sampai bawah dengan tatapan meremehkan khasnya.
“Tentu saja baik. Bibi juga sama sekali tak terlihat berubah, masih ‘sama’ seperti dulu.” Pria itu tersenyum misterius. “Oh, sepertinya aku harus masuk sekarang.”
“Oh, baiklah, sampai jumpa lagi.”
Pria itu seketika berbalik, senyum di wajahnya perlahan memudar, wajahnya semakin terlihat dingin dan memperlihatkan api amarah. “Dasar penggunjing!” desisnya pelan. Ia masuk ke pekarangan rumahnya dan meninggalkan wanita yang usianya hampir memasuki kepala empat itu.
***
“Ibu, bagaimana kabarmu? Maaf ... aku baru kembali ...” Pria itu bersuara lirih, matanya mengedar ke seluruh penjuru kamar kosong yang menguarkan bau apak.
Ia berjalan pelan menuju ranjang, tangannya bergerak perlahan menyentuh seprai berwarna biru kusam, tempat tidur itu sudah tertutup debu, begitu pula dengan barang-barang lainnya yang berada di kamar itu.
Pria itu kembali bergerak mendekati sebuah pigura foto berukuran sedang yang terpajang di atas meja kecil berbentuk bundar. Ia mengambilnya, sambil memandang potret wajah cantik yang ia rindukan kini telah berwarna usang dan terbalut debu tebal.
Pria itu mengusap kaca yang melindungi selembar foto di baliknya, kini permukaan kaca itu berwarna kemerahan. “Ibu, aku merindukanmu ...” Ia memeluk erat pigura foto itu.
Pria itu berbalik, menghadap sebuah cermin besar penuh debu yang kini ada di depannya, potret dirinya terpampang nyata di sana, terlihat begitu kontras dibanding beberapa menit sebelumnya. Bercak-bercak kemerahan yang mengotori wajahnya bisa ia lihat melalui pantulan cermin itu, begitu pun kaos yang seharusnya berwarna putih polos, justru kini dihiasi oleh percikan warna merah berbau amis.
Mata pria itu mulai menghangat, cairan bening memenuhi pelupuk matanya. “Ibu, kau tahu? Aku baru saja menumpas iblis kotor itu ...”