Bercak Kegelapan Kelopak Mawar

AmertaSandyakala
Chapter #2

2. Perburuan Kedua ( Mawar Hitam Pertama Untuk Pria Bertanduk Iblis ) - part 1

“Kalian tahu, rantai makanan pada hewan? Mereka hidup untuk saling memangsa, bukan? Padi dimangsa belalang, belalang dimangsa katak, katak dimangsa ular, dan ular akan dimangsa oleh elang. Pada akhirnya mereka semua akan dimangsa dan mati, hanya elang sebagai yang terkuat yang berhasil bertahan hidup. Begitu pula manusia, mereka juga akan saling memangsa untuk bisa bertahan hidup, yang kuat akan menindas yang lemah. Yang kuat akan semakin berkuasa, dan yang lemah akan semakin menderita, dan pada akhirnya akan mati juga.”

~Black Rose~


Mega mengabu, mewarnai hari yang saat itu juga berwarna kelabu bagi seorang wanita tua pemilik badan rimpuh itu. Erang tangisnya mampu menyentuh kalbu, membawa orang-orang yang masih memiliki nurani turut merasakan nestapa derita yang menyelubungi daksa rentanya.

Kumpulan insan yang berada di sana hanya bisa menatap iba, tak berani mencela perilaku kasar seorang pria dewasa yang terlihat sangat beringas terhadap si wanita tua. Bahkan beberapa manusia yang sudah kehilangan hati hanya bersikap tak acuh, seolah telinga dan mata mereka memang sudah tak berfungsi sehingga tak bereaksi apa-apa terhadap tangisan penuh nestapa.

Orang-orang lainnya lebih memilih mengabadikan momen itu melalui tangkapan kamera, membagikan kejadian itu kepada orang lain dengan keterangan yang kadang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, meracuni pikiran penonton konten mereka dengan hal-hal yang tak nyata.

“Pencuri sialan! Berani-beraninya kau mencuri rotiku lagi! Apa aku harus membawamu ke kantor polisi untuk membuatmu jera?!!” seorang laki-laki berkaus putih berteriak dengan suara lantang di pelataran sebuah bangunan yang berfungsi sebagai ruko. “Dasar sial!!!” umpatnya lagi.

Nenek tua berbaju Kumal yang tengah berlutut di depannya hanya mampu menangis—meratap, memohon pengampunan pada laki-laki dewasa itu. Berkali-kali ia menggosokkan kedua telapak tangannya, air mata terus membanjiri kulit wajahnya yang telah kendur.

“Ampun! Maafkan saya, saya tidak mencuri! Saya hanya mengambil roti yang sudah Bapak buang di tempat sampah ... saya kelaparan ...” tubuh kurus yang seakan hanya berbalut kulit seperti mendukung segala ucapan yang keluar dari mulut nenek itu; yang dikatakannya adalah sebuah kejujuran—bahwa dia saat ini tengah disiksa rasa lapar.

“Kau pikir aku peduli ... ?! Tidak ada yang akan peduli meskipun seorang gelandangan sepertimu sekarat di jalanan!!!” Bukannya merasa iba, pria itu justru semakin memaki si nenek tua. Bahkan kini kaki kanannya sudah melayang dan mendarat dengan keras di tulang punggung yang sudah keropos itu, membuat daksa rentanya terjatuh di atas genang rinai hujan yang terasa dingin baginya.

Perempuan tua itu menjerit kesakitan, raungannya terdengar semakin jelas tatkala melihat roti berjamur yang dengan susah payah ia pungut kini telah berceceran di atas tanah. Ia merangkak, hendak meraih kembali roti yang tadi ia ambil dari tempat sampah, namun belum sempat ia menyentuhnya, liang pendengarannya kembali mendengar suara bentakan yang menyakitkan.

“PERGI SANA GELANDANGAN!!!” Pemilik toko itu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, sorot matanya dipenuhi amarah. 

Jika saja wanita itu tak segera berdiri dan pergi dari sana, mungkin saja kepalan tangan itu sudah mendarat di tubuhnya. Ia berjalan terseok-seok sambil menahan nyeri di punggungnya yang sudah bungkuk, air matanya telah kering, namun suara tangisan keras itu masih keluar dari tubuhnya. Mengundang simpati dari orang-orang yang sebenarnya dari tadi melihat kejadian itu, namun tak berani berbuat apa-apa.

“DASAR GELANDANGAN!”

“AWAS SAJA KALAU KAU BERANI DATANG KE SINI LAGI! KUBUNUH KAU!!!”

Kata-kata yang mengoyak hati mengundang kembali rinai air matanya untuk terjatuh lagi, ia menangis penuh rasa pilu merasakan derita yang menerpa kalbu. Seolah menghadapi kenyataan getir yang sama, langit turut meneteskan air matanya yang menjelma menjadi derai hujan, membiaskan air mata si wanita tua untuk membaur menjadi satu. 

Cacian dari pemilik toko itu mengikuti langkah si nenek tua, ia tak sadar, sepasang mata hitam yang dari tadi terus mengawasi perbuatannya dari kejauhan tengah menatapnya dengan aura gelap; rupanya kematiannya telah dekat.

***

Di bawah kolong jembatan itu ia meringkuk kedinginan, beralaskan kardus dan berselimutkan kain tipis yang telah usang, matanya terpejam, namun jiwanya belum terlelap seutuhnya, suara gemuruh perutnya yang perih dan tubuh rentanya yang terasa dingin memaksanya untuk tetap terjaga, ditambah lagi suara deru mesin kendaraan dan klakson yang masih saling bersahutan meskipun di tengah cakrawala malam. Suara langkah kaki yang terdengar samar-samar mendadak berhenti tepat di depannya, bersamaan dengan itu suara bisikan halus seorang pria memenuhi liang pendengarannya.

“Aku akan membantumu ....”

Mata tuanya yang telah buram kembali terbuka, memandang beberapa orang yang juga menjadi potret kemiskinan seperti dirinya tengah terlelap; mengistirahatkan tubuh sejenak dari kerasnya kehidupan.

Ia sempat berpikir suara tadi hanyalah mimpi atau halusinasi, sebelum mendapati sekantong keresek hitam tanpa pemilik teronggok begitu saja di sampingnya, ia menengok ke sana-kemari, hingga matanya menangkap sesosok raga yang sepertinya seorang pria tengah berjalan menjauh dari tempatnya berbaring.

Di tengah kebingungan yang melanda, ia memutuskan untuk membuka kantong keresek itu, matanya kini terpaku pada isi di dalam kantong yang berupa beberapa bungkus roti dan beberapa lembar uang berbagai pecahan. Dalam sekejap, pelupuk matanya menghangat, sungai kecil kembali mengalir deras di pipinya; ini adalah tangisan kebahagiaan, sangat berbeda jika dibandingkan dengan tangisan penuh penderitaan tadi.

“TERIMA KASIH!!!”

Lihat selengkapnya