Ruang Interogasi
Ruangan tertutup yang berukuran tak terlalu besar dengan kaca gelap yang hanya tembus pandang di satu sisi saja, tampaknya terlihat begitu menakutkan di dalam pandangan wanita tua itu. Ia sesekali mengamati sekelilingnya, sebelum akhirnya kembali menundukkan kepala untuk waktu yang cukup lama.
Derian masuk membawa segelas air putih yang telah ia isi ulang, ia kemudian duduk di kursinya dan menyodorkan gelas itu di hadapan Ratih—nama nenek tua itu. Dengan cepat ia mengambil gelas itu, meneguk seluruh isi di dalamnya hingga habis tak tersisa, rasa takut dan gugup yang ia rasakan membuat kerongkongannya mendadak mengering, hingga sebanyak apa pun air yang masuk ke dalam perutnya seakan tak mampu untuk membasahinya, belum lagi tubuh tuanya yang sedari pagi ia paksa untuk memulung sampah di bawah hamparan pijar panas matahari, tentu saja akan membuat kerongkongannya tak ubahnya seperti tanah gersang yang kekeringan.
Derian menatap wanita tua itu dengan sorot mata yang mendadak sendu, seakan teringat sesuatu yang menyedihkan. “Anda tidak perlu merasa takut jika tak berbuat kesalahan apa pun ...” Perkataan Derian tetap tak ia acuhkan, ia masih bergeming di tempatnya, bahkan kini kepalanya tertunduk semakin dalam karena tenggelam dalam ketakutan.
“Aku yakin nenek itu tidak bersalah, tidak mungkin seseorang yang sudah tak mempunyai tenaga seperti dia bisa merampok toko seperti itu, apalagi tanpa meninggalkan bukti apa pun. Pelakunya tentu saja harus seorang profesional, kan?” Candrasa berbicara dengan dua orang yang berdiri di samping kiri dan kanannya, yang juga merupakan rekan kerjanya di sat reskrim.
Mereka bertiga kini tengah mengawasi interogasi yang sedang berlangsung melalui sekat ruangan yang berupa kaca.
“Biasanya hanya perampok ulung yang sudah melakukan perampokan berulang kali, atau seseorang yang genius yang bisa melakukan hal itu tanpa meninggalkan jejak,” ujar pria muda di samping kanan Candrasa. “Tidak mungkin seorang amatir mampu melakukan kejahatan sesempurna ini,” lanjutnya.
Candrasa mengusap dagunya seraya berpikir keras, matanya terus tertuju pada Ratih yang tengah berhadap-hadapan langsung dengan Derian di dalam sana. “Benar, apalagi bunga mawar yang kita kirimkan pada tim forensik juga tak memberi petunjuk apa pun,” keluhnya, disertai helaan napas lelah. “Tapi aku juga masih penasaran, kenapa pelaku meninggalkan bunga mawar itu di TKP? Apakah ada suatu pesan yang ingin dia sampaikan?”
“Anda tahu ... ? Saya mengenal seorang perempuan tua, dia mungkin 10 tahun lebih muda dari Anda. Tapi dia seorang perempuan jahat, dia telah berbuat sebuah kejahatan yang tak ter maafkan, dan sayangnya dia tak bisa dihukum karena kesalahannya itu. Sehingga dia bisa hidup bebas tanpa sedikit pun merasa bersalah atau pun takut ...” Derian bercerita dengan suara lirih, nada lembut dari pria itu perlahan membuat Ratih merasa lebih nyaman, perempuan tua itu mulai berani mengangkat kepalanya. Menatap Derian dengan mata berkaca-kaca, ia hampir menangis.
“Maksud saya, Anda tidak perlu merasa bersalah atau pun takut jika memang tak melakukan kejahatan apa pun,” tuturnya. “Karena seseorang yang melakukan kejahatan pun belum tentu merasakan hal yang sama.”
Air mata yang sejak tadi ia bendung akhirnya luruh juga, Ratih mulai terisak keras. “Aku takut ... Bagaimana jika aku dimasukkan ke penjara, padahal aku tidak salah apa-apa .... Orang miskin sepertiku bisa apa jika sudah dihadapkan pada para penguasa ...” raungnya, air matanya berlinang dan mengalir semakin deras. “Aku sungguh tidak mencuri ... aku hanya memungut roti itu dari tempat sampah. Aku kelaparan ....”
Candrasa dan dua orang rekannya yang berada di luar berusaha menahan air mata agar tidak terjatuh, mereka berkali-kali memalingkan muka dari orang di sampingnya agar tidak terlihat bila sedang menahan tangis.
Derian terdiam sejenak, membiarkan nenek itu tenggelam dalam tangisan nelangsanya. Biarpun begitu, mata hitamnya terus terpaku pada wajah keriput itu, memandang intens tanpa beralih sedetik pun. Sesaat kemudian, mulutnya yang lama mengatup akhirnya terbuka, ia berbisik dengan suara halus,” Jangan khawatir, aku akan membantumu ....”
Mata sayu itu perlahan membesar, tangisannya mereda, air mukanya memperlihatkan keterkejutan. Ia menatap kedua mata gelap Derian tanpa mengerjap sedikit pun. Kata-kata yang baru ia dengar itu ... ?
***
3 hari setelah terjadinya perampokan di toko sembako
Rudi POV
Suara gaduh kembali terdengar dari lantai 1 rumahku, jelas-jelas itu suara pintu toko yang digedor dengan keras, sialan! Apa orang gila itu mengirim mawar berdarah lagi?! Siapa sebenarnya pengecut itu? Kenapa dia terus menerorku dengan bunga-bunga itu! Apakah dia ingin aku bunuh?!
Dengan amarah yang meluap aku segera turun ke lantai bawah, bersiap memaki atau membunuh siapa pun yang sejak dua malam yang lalu terus-menerus mengusik tidurku. Tanganku menyahut salah satu pisau cutter yang tergantung di dinding toko, kudorong pintu itu dengan kasar. Aku mengacungkan senjata begitu berada di luar, dengan emosi yang membeludak aku berteriak seperti orang kesetanan.
“Orang gila! Kubunuh kau!!!”
Namun tak kutemukan siapa pun di luar sana, bahkan hanya suara serangga yang bisa kudengar. Sial! Apa pengecut itu kabur lagi? Mataku terus mencari ke sana-kemari, namun benar-benar hanya hening dan kegelapan yang kutemui. Brengsek! Aku membalikkan badan, bersiap kembali masuk ke dalam rumah setelah semua kegaduhan itu, aku bersumpah akan menangkap brengsek itu jika dia kembali lagi!
Bukkk!
Sebuah serangan mendadak membuat tubuhku ambruk seketika. Dahiku serasa remuk, rasanya sakit ... sakit sekali, aku yakin, kepalaku pasti sudah berlumuran dengan darah, karena aku bisa mencium aroma amis di tengah kesadaranku yang semakin menipis.
Pandanganku mulai mengabur, suara ramai serangga yang tadi kudengar perlahan mulai menjauh. Bayangan itu muncul, seonggok manusia yang tak bisa kulihat dengan jelas berdiri tepat di depanku, dia berpakaian serba hitam, apa malaikat pencabut nyawaku telah datang? Belum sempat pertanyaanku terjawab, kegelapan sudah terlebih dahulu menemuiku. Namun sebelum samudera kegelapan benar-benar menenggelamkanku, telingaku sempat mendengar sebuah bisikan bernada lembut yang mengerikan.
“Malaikat pencabut nyawamu telah datang ....”
Aku benar-benar mati!!!
***
Aku membuka mata perlahan, memandang sekeliling yang suasananya tak asing lagi bagiku, tunggu ... sekarang aku berada di dalam toko?
Bukankah seharusnya aku sudah mati?
Argh!!! Rasa sakit dikepalaku masih terasa, bahkan sakitnya semakin menjadi-jadi. Aku mencoba bangkit dari kursi, namun sial! Dengan cepat aku segera menyadari kalau bajingan itu mengikat mengikatku di kursi, bahkan dia juga menutup mulutku dengan lakban, membuatku tak bisa berteriak untuk mencari pertolongan.
Suara derit kursi yang di seret di atas lantai memenuhi ruangan ini, sepertinya suara itu berasal dari belakang. Benar saja, seseorang muncul dari belakangku sambil menyeret sebuah kursi, itu adalah seorang laki-laki. Dia duduk di depanku.
Keringat dinginku mulai bercucuran, degup jantungku semakin tak beraturan, entah ke mana perginya sifat garangku selama ini, karena yang kurasakan saat ini hanya rasa takut akan mati. Aku meronta-ronta dan berteriak, namun teriakanku teredam oleh lakban. Melihatku yang mulai gila, dia malah tersenyum lebar di balik masker hitamnya, itu bisa terlihat dari kedua sudut matanya yang menyipit hingga berkerut.
Dia mengeluarkan sebuah benda dari saku hoddie hitamnya, itu adalah cutter yang tadi aku bawa. “Apa kau tadi ingin membunuhku dengan benda ini?” Dia memainkan cutter di tangannya. Pria misterius itu menatapku dengan kedua matanya yang berwarna seperti jelaga, tatapan itu sangat menusuk, aku semakin panik, deru napasku mulai tak beraturan.
“Kenapa? Apa kau ingin mengucapkan sesuatu ... ?” tanyanya, sebelah alisnya terangkat, ia mendekatkan mulutnya ke telingaku. “Tapi jangan berteriak, ya?” ucapnya sembari menarik kepalanya kembali. Aku hanya mengangguk saja.
Dia melepas lakban di mulutku, dan di saat itulah aku berteriak keras, “TOLOOONG!!!”
Ia membekap mulutku dengan tangan kanannya, begitu kuat, hingga membuatku sesak napas. Sementara tangan kirinya yang memegang cutter menyayat dada hingga ke perutku, aku mencengkeram pegangan kursi erat-erat.