“Ada orang mati yang meninggalkan kesedihan, ada juga orang mati yang meninggalkan kebahagiaan bagi orang yang ditinggal. Dan untuk kematian yang terjadi kali ini, kurasa akan lebih banyak orang yang tertawa dari pada yang menangis.”
Derian Khandra Wijaya
Kantor polisi
Mata pria itu terus terpaku pada satu titik yang sama sejak beberapa menit yang lalu, tanpa beralih pandang sedikit pun, sembari menopang kepala dengan tangan kiri, dan jari telunjuk tangan kanannya yang tanpa henti ia ketukkan di atas meja.
Matanya yang sudah lelah mulai menampakkan warna kemerahan hingga sedikit berair, namun tampaknya itu tak menggoyahkan niatnya sedikit pun untuk tetap memelototi rekaman video yang entah sudah yang ke berapa kalinya terputar di layar monitor komputernya.
Candrasa yang duduk di samping Derian mulai merasa jenuh, ia melirik layar monitor dan Derian secara bergantian. Helaan napas panjang pertanda rasa lelah terdengar tak lama kemudian. “Kau masih memeriksa rekaman cctv itu?” keluhnya, ingin sekali ia mencela Derian dengan bahasa non-formal, namun mengingat posisinya yang saat ini berada di kantor yang penuh orang, ia harus memerhatikan tutur katanya.
Ia kembali melirik tanpa minat ke arah rekaman cctv yang masih menampilkan rekaman yang sama, yaitu rekaman bagian belakang tubuh seorang pria yang tengah berjalan menyusuri trotoar jalan, di bawah cahaya lampu jalan dan sinar rembulan yang sama-sama berpendar dengan remang-remang.
Derian masih bergeming di tempatnya, hanya mulutnya yang bergerak untuk menjawab pertanyaan Candrasa, “Hm ... kita tidak bisa melihat wajahnya.”
Candrasa mengangguk singkat, ia menghadap komputernya lagi, mencoba mengabaikan air muka Derian yang tampak murung. “Tapi setidaknya kita bisa mengetahui tampilan fisik pelaku. Dan juga rekaman ini bisa menjadi bukti kalau nenek Ratih tidak berada di sekitar toko, di waktu perkiraan terjadinya perampokan,” ujarnya.
“Oh ya, aku juga sudah memeriksa semua mobil yang melintas di lokasi saat kejadian itu terjadi, tapi hanya ada 3 mobil yang memiliki blackbox, dan itu pun hanya 1 yang benar-benar menyorot ke pelaku.”
Air muka Derian mulai berubah, secercah cahaya harapan muncul dimatanya. “Apa kau mendapat wajah pelaku?” tanyanya antusias.
Kepala pria itu menggeleng pelan. “Tidak.” Tangannya menggeser layar monitor, hingga Derian bisa melihat sebuah rekaman video yang dijeda. “Wajahnya terus menunduk, apalagi saat itu dia memakai tudung jaket yang membuat sebagian wajahnya tertutup. Hanya rahangnya yang tampak saat itu.”
Derian terbungkam, segurat ekspresi asing terpampang nyata di wajahnya saat melihat potongan wajah pelaku. Selang beberapa detik kepalanya menengadah, menatap langit-langit kantornya yang berwarna putih dan kusam. Matanya mulai terpejam, dengan helaan napas yang mengalir perlahan.
Candrasa mengikuti pose Derian, ia turut bersandar pada kursi dan memejamkan netra. “Kita harus segera menemukan pelaku.” Ia berbicara dengan kedua kelopak mata yang masih tertutup rapat. “Aku merasa kasihan pada nenek Ratih. Bukankah orang seperti Rudi yang seharusnya berada di dalam penjara itu? Jika kita berbicara tentang keadilan, Rudi juga bersalah karena bertindak kasar ...” lirihnya.
Matanya kembali terbuka, melirik ke arah Derian dengan kepala yang tetap bersandar di punggung kursi. Pria itu tak menanggapi, ia masih setia terpejam dan tenggelam dalam kegelapan yang menyelimuti hati.
Candrasa menatap lekat wajah itu, sebuah pertanyaan yang dari tadi ia pendam terus berputar-putar di benaknya. “Kak ....”
“Hm ....”
Ia menarik kursinya mendekat. “Sebenarnya, siapa perempuan tua jahat yang kau ceritakan pada saat menginterogasi nenek Ratih?” tuturnya dengan intonasi rendah, tatapan matanya yang serius terus terkunci pada rupa Derian.
Tak lama berselang pria itu membuka nayanika miliknya, pandangannya terus mengawang, ia tersenyum samar, tersirat sayatan luka lama yang tertutup di balik matanya yang sengaja dipendam bersama pikiran buruk lainnya yang merajalela di dalam otak. “Hanya orang yang kukenal ...” balasnya pelan, masih memandang Candrasa.
Sementara Candrasa memandangnya jengkel, sambil menarik kembali kursinya ke tempat semula, berkutat kembali dengan pekerjaannya. Derian tersenyum geli melihat raut kekesalan di wajah 'adiknya' itu.
Namun ketenangan itu rupanya hanya bertahan sesaat, karena seorang pria berusia akhir 30-an datang tergopoh-gopoh menghampiri mereka berdua, keringatnya mengucur deras seakan baru saja ikut perlombaan lari.
“Pak ... !”
Sontak, Derian dan Candrasa menatap ke arah yang sama. Ali—rekan mereka, berdiri di hadapan keduanya dengan napas yang terputus-putus. “Ada apa?” tanya Derian kebingungan, karena tak biasanya pria itu bertindak demikian.
“Rudi mati!”
Napas kedua pria muda itu seakan tercekat, Derian dan Candrasa saling berpandangan dengan kedua mata mereka yang sama-sama terbelalak karena mendengar kabar itu.
Terlebih lagi Derian, ia seakan tidak percaya dengan berita itu.
“Dia dibunuh!”
Tidak mungkin!
***
Toko / TKP
Kondisi mayat pria itu begitu mengenaskan, seutas tali tambang berwarna putih melingkar di lehernya hingga membentuk cekungan pada kulit di sekeliling jeratan dan meninggalkan jejak berwarna merah kecokelatan yang kering seperti kertas.
Simpul penjerat yang terikat rapi terletak pada tengkuk bagian belakang lehernya—merupakan jenis gantung diri tipikal. Bola matanya menonjol, wajahnya membiru, darah yang keluar dari pelipis, dada, dan jarinya yang terpotong sudah mengering. Dari kondisi mayat yang seperti itu—terdapat banyak tanda-tanda penyiksaan—sudah dapat dipastikan bahwa ini merupakan kasus pembunuhan.
“De—rian .... Tolo—ng ....”
Suara itu kembali menggema di liang pendengarannya, sekelumit kenangan mengerikan kembali berputar di kepalanya. Derian hanya mampu berdiri membeku di depan mayat yang tergantung itu, menatapnya pilu dengan kondisi mata berkaca-kaca.
Dadanya tiba-tiba terasa sesak melihat kondisi mengenaskan pria itu, rasa takut dan sedih kembali bersarang di dalam dadanya. Lubang hitam itu kembali menganga, menenggelamkannya ke dalam palung terdalam tanpa dasar di samudera kegelapan kenangan menyedihkan.
Kita bertemu lagi, Rudi. Tapi kini dalam keadaan yang jauh berbeda, dalam keadaan seperti ini, apakah kamu masih bisa bersikap angkuh lagi?.
“Pembunuhan pertama ...” gumamnya pelan tanpa sadar.
“Kau baik-baik saja?” Sebuah suara muncul di belakangnya.
Lamunannya buyar. Derian buru-buru menoleh ke samping, ia tersenyum tipis pada Candrasa.
Raut kekhawatiran masih tampak jelas di wajah pria itu. “Tapi kau selalu seperti ini setiap melihat mayat yang tergantung,” tandasnya pelan. “Apa kau punya trauma pada kasus serupa?” selidiknya seraya memicingkan mata.