Bercak Kegelapan Kelopak Mawar

AmertaSandyakala
Chapter #5

5. Perburuan Ketiga ( Binatang Pemakan Bangkai ) - Part 1

“Ini bukan soal bisa atau tidak, tapi ini tentang kemauan, karena faktanya setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pembunuh. Dan jangan pernah menutupi fakta, kalau sebenarnya setiap orang di dunia ini pernah membunuh orang yang dibenci di dalam kepalanya berkali-kali, menyiksanya hingga mati. Itulah manusia, pikirannya tak pernah bersih dari sesuatu yang buruk.”

~Derian Khandra Wijaya~


Daksa pria itu kembali terbaring penuh kesedihan, dengan pandangan mengawang yang jauh menerawang kembali ke masa lalunya yang menyesakkan; lebih tepatnya ke masa kanak-kanaknya yang penuh kenangan ceria sekaligus memilukan.

Tubuhnya bergerak, mengubah posisi tidurnya yang semula terlentang menjadi menyamping, kedua kelopak netra pria itu berkedip perlahan, menitikkan cairan bening hangat yang semula tertampung, dan kini kembali mengalir, mengikuti bekas air mata sebelumnya yang belum sepenuhnya mengering.

Rasa sesak itu kembali menjalar di dalam dadanya. Pandangan mata ayahnya tadi, yang menatapnya penuh kehancuran sekaligus kecurigaan, telah sukses mengoyak-oyak hatinya.

Pikiran-pikiran itu mulai merajalela lagi, tentang kegundahan hati, yang mengharuskannya untuk tetap menutupi kebenaran—yang telah mengubah cara pandang ayahnya terhadap dirinya selama ini, yang memandangnya sebagai monster. Atau justru ia harus mengatakan sebuah kejujuran—untuk mengakhiri segala penderitaan yang dialaminya, meski sesuatu yang selama ini dilindunginya justru akan terluka karenanya.

Maafkan aku ....

Matanya terpejam rapat, segala sesuatu berubah menjadi gelap, ia mulai memasuki alam mimpi—mimpi yang mengubah semuanya menjadi lebih sesak.

***

Flashback

Mata Derian kecil terbuka paksa, setelah suara dentuman keras itu masuk ke dalam telinganya, tangan kecilnya memegang bagian belakang kepalanya yang terasa sakit karena terantuk kencang.

Ia dengan spontan menoleh ke belakangan, lalu setelah itu menatap ke samping kanannya, namun kosong, ayahnya tidak ada di kursi sopir. Dia kembali memutar kepalanya ke depan, ketika telinganya tanpa sengaja mendengar suara rintihan seseorang.

“Tolonggg ... biarkan aku hiduppp ....”

Anak itu seketika terperangah, tubuhnya membeku begitu saja, sesaat setelah matanya membelalak lebar ketika melihat pemandangan mengerikan yang tersaji di depan mata.

Benderangnya lampu mobil menyorot dalam kegelapan ke arah dua orang laki-laki dewasa, salah satunya sudah tergeletak di atas aspal dengan kepala bersimbah darah, sementara yang satunya lagi justru menduduki tubuh pria yang sudah tidak berdaya itu, dengan tangan kanan yang memegang sebuah batu berukuran besar.

Dengan napas yang terengah-engah, pria itu –yang tak lain adalah ayah Derian—menyeret tubuh pria malang itu ke pinggir pagar pengaman jalan tempat sebuah motor matic terparkir, setelah memastikan bahwa napas kehidupan tak mengalir lagi dari tubuhnya, Rian menjatuhkan tubuh itu ke dalam jurang yang berada di sisi kanan jalan.

Dengan perasaan yang berkecamuk, ia kembali melangkah lunglai menuju mobilnya, tangan kanannya masih menggenggam batu berlumur darah yang barusan ia gunakan untuk menghabisi mangsanya.

Tanpa memedulikan penampilannya saat ini, ia masih terus melangkah maju, hingga kedua matanya bertemu dengan sepasang mata lain yang terpaku pada penampilannya saat ini yang tak ubahnya seperti seorang monster, yang sedang menatapnya dengan tubuh gemetar ketakutan. Batu itu seketika terlepas dari genggamannya.

“Tutup matamu!”

Mereka boleh saja menutup mata untuk kejadian mengerikan yang terjadi malam itu, namun tanpa mereka sadari, ada sepasang mata lain yang juga menjadi saksi peristiwa berdarah itu.

Seorang anak laki-laki seumur Derian, tengah berdiri mematung, bersembunyi di balik sebuah pohon tanpa bisa berbuat apa-apa. Membisu tanpa suara, ketika matanya dengan jelas melihat ayahnya dibunuh dengan cara brutal.

Tapi yang pasti, kejadian itu akan terus terpatri dalam benaknya dan terbawa dengannya hingga dewasa.

Malam di mana ia kehilangan ayahnya ....

Flashback End

***

Kafe


“Kak, menurutmu, kenapa Black Rose menaruh mawar hitam plastik di TKP? Kenapa bukan bunga yang lainnya?” Candrasa bertanya pada Derian yang tengah sibuk menulis sesuatu di buku catatan kasusnya.

Derian menjawabnya tanpa menatap Candrasa, “Lalu kau mau menyuruhnya menaruh bunga apa? Melati?” Ia mendongakkan kepala, menatap Candrasa dengan raut menyebalkan. “Kalau begitu namanya akan berubah menjadi Jasmine tea, bukan Black Rose lagi.”

Candrasa diam tergugu, segelas Ice Americano yang tadi disesapnya ia letakkan kembali di atas meja dengan kasar. “Bukan begitu juga konsepnya, Kak!” tandasnya kesal.

Derian mendengus kesal, ia menjitak kepala pria itu geregetan. “Berani-beraninya kau berteriak pada atasanmu!”

“Kau pikir ini baru yang pertama kalinya?!” sentak pria itu tanpa rasa takut, meskipun tangan kanannya kini tengah mengusap ubun-ubun kepalanya yang berdenyut nyeri.

Kepala Derian menggeleng pelan, masih memandang wajah Candrasa yang tengah melipat wajahnya sebal. Jika pria itu tak menganggapnya sebagai adik sendiri, pasti ia dari dulu sudah menggamparnya karena kelakuannya yang kurang ajar.

“Can, apa kau tahu, arti dari bunga mawar hitam?”

Lihat selengkapnya