Pengap, sesak. Udara kotor yang kuhirup ini sungguh membuatku muak, sirkulasi buruk tempat ini langsung membuatku batuk berkali-kali begitu kesadaranku kembali.
Kukerjapkan mata perlahan-lahan, memandang sekeliling dengan pandangan berkunang-kunang. Apa aku ada di dalam gudang? Sarang laba-laba yang menjuntai di langit-langit ruangan, ubin keramik yang telah ditutupi debu tebal, hingga potret sebuah lukisan wanita tua berdebu dengan senyum lebar tersungging di wajahnya yang seharusnya memberi kesan bersahaja—namun entah mengapa justru membuatku mati kutu, karena senyumnya itu memberi kesan sadis bagiku.
Sungguh, aku sangat takut ... aku ingin segera pergi dari sini! Tapi bagaimana caranya aku bisa kabur? Jika tali dan lakban sialan ini telah mengungkung tubuh dan mulutku untuk tetap berdiam diri di kursi ini.
Oh Alan! Ayo berpikirlah! Kamu bukanlah pengecut yang hanya bisa menahan tangis seperti ini.
Kepalaku terkulai lemah, rasanya pening sekali hingga untuk sekedar menyokongnya saja rasanya aku tak sanggup.
“Apa yang telah terjadi pada si hiena yang licik ini? Apa dia telah kehilangan akal liciknya hingga tak sanggup meloloskan diri?”
Suara berat seorang pria merayap ke seluruh sudut ruangan, aku mengangkat kepala mencari sumber suara itu. Di sudut ruangan yang gelap, yang tak tersentuh cahaya dari lampu bohlam kuning yang berpendar di atas kepalaku ini, aku bisa melihat bayangan hitam dari seorang pria yang tengah berkonsentrasi pada sesuatu.
“Bersabarlah sebentar lagi, makan malammu akan segera siap.” Aku tak tahu apa maksud si gila itu, aku terus berusaha memberontak dan menyumpahinya meskipun aku tahu itu akan sia-sia.
“Kau sangat tak sabaran, ya ...”
Orang itu akhirnya keluar dari dalam kegelapan. Benar, itu adalah si ‘bangkai’ dia berjalan ke arahku sambil membawa sesuatu, tunggu! Apa yang dia tenteng itu? Bangkai hewan ...? Bau busuk langsung menyeruak menusuk hidungku, seluruh isi perutku terasa bergejolak. Mungkin sebentar lagi aku akan muntah.
Si gila menarik sebuah kursi kayu yang ada di depanku dan duduk di sana. Lalu meletakkan bangkai hewan itu di atas pangkuanku, sesaat aku memandangnya dengan perasaan ngeri, bangkai itu ternyata adalah seekor anjing kecil berbulu putih yang telah ditumbuhi belatung di beberapa anggota badannya yang berlapis darah kering.
Tolong segera singkirkan bangkai itu! Aku sudah tidak tahan lagi dengan bau busuknya!
Sementara ia melepas masker hitam itu dari wajahnya, dan di saat itu pula aku bisa melihat kedua sudut bibirnya yang tertarik ke atas, yang membentuk sebuah seringai yang mengerikan. “Bagaimana? Cantik bukan?”
Darah di dalam tubuh ini seakan mendidih, rasa antara marah dan takut bergejolak menjadi satu menguasai relung hatiku. Pecundang ini ... aku sungguh tak tahu jika dia memiliki sisi gelap yang mengerikan ini di dalam dirinya. Selama ini ia sangat pandai menyembunyikannya, jauh ... jauh di dalam palung kegelapan tak tersentuh di dasar hatinya. Hingga aku tak menyangka, dia akan balik memangsaku seperti ini.
Jemarinya tiba-tiba terangkat, lalu ia menyeka bulir keringat yang mengucur deras membasahi dahi dan pelipisku. “Kenapa kau begitu berkeringat seperti ini?” Sungguh, sentuhannya terasa begitu dingin, padahal sarung tangan lateks telah membalut kulit tangannya dengan rapi.
Atau mungkin itu perasaanku saja? Rasa takutlah yang membuatku berkeringat dingin seperti ini.
Gejolak di perutku tak tertahankan lagi. Pada akhirnya isi perutku memaksa keluar, dan sialnya lagi aku tak bisa memuntahkannya karena mulutku tersumpal lakban, aku bisa merasakan cairan menjijikkan itu memenuhi mulutku.
“Kau sudah sangat kelaparan, ya?” tanyanya. “Baiklah, aku akan membukanya. Makan yang lahap, ya?” Ia melepas lakban sialan itu dari mulutku dengan kasar, hingga kulit bibirku yang kering ikut terkelupas dan berdarah karenanya.
Namun alih-alih merasakan rasa perih, aku lebih memilih mengeluarkan muntahan dari dalam mulutku ini, sangat menjijikkan. Cairan menjijikkan itu jatuh tepat di atas bangkai anjing kecil itu.
Dia menghela napas, menatap bangkai itu tanpa ekspresi. “Apa yang harus kita lakukan? Padahal kau belum sempat memakannya,” tanyanya dengan suara rendah yang terkesan dingin.
Sesaat kemudian ia mengangkat kepala, menatap mataku menggunakan sorot matanya yang hampa seperti tanpa nyawa, aura dingin menyergapku saat itu juga. Aku menggeleng pelan, dengan sisa keberanian aku memohon padanya. “Lepaskan aku ...”
Dia hanya bergeming, bahkan selama beberapa saat mata gelap itu terus mengawasi wajahku, seperti seekor singa yang tengah mengawasi mangsanya dan menunggu waktu yang tepat untuk menerkamnya. Bahkan hanya deru napas di antara kami yang bisa didengar dan juga suara alunan musik dari luar ... begitu lengang.
“Kau tak menyukainya?” Dia akhirnya membuka suara, tapi pertanyaan apa itu? Aku tidak mengerti. Aku hanya bisa menatapnya penuh tanya.
Seakan menangkap kebingunganku, dia berkata lagi, “Bangkai itu, kau tidak menyukainya?”
Orang gila! Tentu saja aku tidak menyukainya, memangnya orang macam apa yang akan mau memakan daging busuk seperti itu?!
“Aku tidak makan bangkai!”
“Lalu kau minta apa? Daging segar?”
Aku menggeleng keras, tak mengerti arah pembicaraan ini. “Lepaskan aku!!! Lepaskan aku!!!” Lamat-lamat aku mulai terisak pelan, sungguh harga diriku benar-benar runtuh di hadapan si ‘bangkai’ ini.
“Kumohon ....”
Pandangan matanya semakin menjadi dingin, selang beberapa detik ia berucap, “Kau sekarang benar-benar terlihat seperti anjing rumahan,” balasnya pelan. “Sayang sekali, aku tak punya daging yang segar untukmu. Bukankah bangkai adalah makanan kesukaan hiena? Seharusnya kau menyukainya, bukan malah membencinya.”