Bercak Kegelapan Kelopak Mawar

AmertaSandyakala
Chapter #7

7. ( Empat Mawar Kematian ) - part 1


“Hienaku tak bisa lagi tertawa ketika aku mulai memasukkan serpihan cermin pilihannya itu ke dalam mulutnya, tawa angkuhnya yang biasa kudengar ketika berhasil merebut bangkai kesukaannya dari singa perlahan menghilang."

"Sungguh memalukan, bukan? Seharusnya ia berpikir berulang kali sebelum memutuskan untuk berburu sendirian. Bukankah seekor hiena tak ubahnya seperti anjing rumahan ketika terlepas dari kawanannya?”

~Black Rose~


Awan hitam menggulung tebal di samudera kelabu angkasa, memadamkan pesona lembayung jingga yang menggantung di sudut barat cakrawala. Sinar mata yang biasanya berpendar tajam itu ikut luruh juga, tergantikan tatapan sendu yang disembunyikan dari jagat semesta.

Di serambi rumah itu ia duduk mengasingkan diri, ditemani secangkir kopi hangat yang masih mengepulkan uap aroma harum mewangi. Pikiran negatifnya turut bergelayut ke sana - ke mari, bersamaan dengan rintik hujan yang perlahan menaburi bumi.

Candrasa, pria itu menyesap kopi hitam yang tersaji di atas meja di depannya. Indera pengecapnya berusaha menikmati sensasi rasa pahit yang memenuhi mulutnya. Maksud hati ingin menenangkan pikiran, namun pikiran buruk dan bimbang itu masih enggan menguap juga.  

Ia kembali meletakkan cangkir putih itu ke atas meja. Helaan napas panjang yang ia embuskan menggambarkan kegelisahan mendalam.

“Jangan berkata seperti itu lagi ... aku tidak suka.”

Sorot mata dingin dari hati yang seakan lama membeku, bercampur dengan aura negatif yang menyelimuti tubuh itu; adalah sisi gelap Derian yang tidak pernah ditampakkan di depan Candrasa selama ini. Kontan saja hal yang baru saja Candrasa lihat dan dengar tadi membuatnya begitu tercengang.

Kenapa respons kak Derian harus seperti itu ... ?

Itulah pertanyaan yang terus berputar di dalam tempurung kepalanya. Pelupuk mata pria itu tertutup rapat, bayangan-bayangan masa lalunya yang berputar seperti mimpi membuat perasaannya menghangat kembali.

Kenangan itu di mulai ketika ia masih duduk di bangku SMA, di masa yang seharusnya ia gunakan untuk merancang masa depan, namun kenyataannya di masa itulah ia mulai menjadi berandalan.

Kemiskinan yang menjeratnya saat itu, ibunya yang sedang sakit, ditambah lagi dengan ayahnya yang seorang pengangguran yang gemar main tangan. Hingga takdir yang menurutnya baik mempertemukannya dengan Derian, seseorang yang membantunya mengubah hidupnya yang sudah seperti neraka itu.

“Candrasa, ada yang meneleponmu, Nak.” Suara yang lemah lembut itu mengalun pelan, Candrasa membuka mata, menoleh pada sang pemilik suara. Ibunya berdiri di ambang pintu, menatap ke arahnya penuh kasih sayang.

Senyum manis langsung mengembang di wajah tampan Candrasa, sesaat setelah menatap wajah cantik yang tak lagi muda yang begitu dicintainya itu. Pria itu berjalan menghampiri, berdiri di depan ibunya sembari merapikan syal putih yang melingkar di leher ibunya.

“Bu, kenapa ada di luar? Udaranya dingin, nanti ibu bisa sakit lagi,” ujarnya lembut.

Kedua tangan Rita terulur, menangkup wajah putranya yang menjadi kebanggaannya itu. “Candrasa, kamu tidak perlu terlalu mencemaskan ibu. Ibu sudah sehat, Nak ...” tuturnya, seraya tersenyum lebih lebar.

Candrasa turut tersenyum, melihat ibunya yang sudah lebih sehat dan tersenyum ceria seperti ini menjadi kebahagiaan tersendiri untuknya. “Ya, Ibu.” Ia mengangguk, sambil menggenggam lembut tangan ibunya yang masih mengusap wajahnya.

“Oh iya. Derian tadi meneleponmu, kamu tidak mau mengangkatnya?” 

Air muka pria itu seketika berubah, mendengar nama Derian entah mengapa menghadirkan kebingungan di hatinya. “Iya, nanti Candrasa telepon balik kak Derian. Ibu ke kamar, ya?”

Rita menurut, Candrasa menuntunnya pelan-pelan ke kamar. Sesaat setelah keluar dari kamar ibunya, pria itu menuju ruang tamu tempat di mana ponselnya diletakkan. Ia mengambil benda pipih itu dan menekan tombol kecil yang ada di samping. Tampak di layar nama Derian yang telah meneleponnya sebanyak 4 kali, ada beberapa pesan yang telah masuk juga. Candrasa memutuskan untuk membukanya.


[ Big Bro ]

Kau di mana? Black Rose kembali lagi!

Cepat ke mari!


Penderitaannya bertambah lagi, sebuah kasus yang belum terselesaikan menambah pikirannya kali ini.

***

Gudang SMA Harapan Bangsa/TKP


Tubuh pria malang itu tergantung kesepian, hanya ditemani bangkai seekor anjing yang setia menemani tuannya dalam perjalanan menuju keabadian. Pada akhirnya, ketika penjemputan ajal pun ia juga tak menerima kasih sayang, justru siksaan yang amat menyakitkan.

Rasa haus akan perhatian, rasa kesepian yang menggerogoti hatinya selama ini, cinta kasih orang tua, apakah kini ia akan bisa menerimanya ... ?

“ALAN!!!”

“ALAN!!!” 

“PUTRAKU!!!”

Garis polisi membentang panjang membatasi lalu-lintas orang yang ingin memasuki tempat kejadian. Sepasang manusia yang merupakan orang tua dari korban menangis, meraung keras meminta nyawa putranya dikembalikan.

Menyesali tidak adanya kenangan indah yang mereka buat selama ini, hanya ada harta tak berguna yang mereka beri.

“ALAN!!!” 

Wanita berpenampilan mewah itu sudah menggelesot di atas lantai, tak peduli pakaian mahalnya akan kotor oleh tanah atau tidak, dia hanya ingin meraung memanggil nama putranya berkali-kali. Kedua tangannya terulur, ingin menjeremba anaknya dan memeluknya dengan erat.

Namun sayang, tubuh yang telah terjerat tali tambang itu sudah membeku, tak lagi bisa bergerak meskipun ingin berlari dan mendekap kedua orang tuanya erat-erat. 

“Orang tua Lo sekarang ingin peluk Lo, Lan. Tapi kenapa ketika mereka sudah mulai menyadari keberadaan, Lo ... ketika itu pula Lo harus pergi ... ?” Pramudya turut terisak keras, melihat keadaan sahabatnya yang mengenaskan.

Lihat selengkapnya