Bercak Kegelapan Kelopak Mawar

AmertaSandyakala
Chapter #8

8. ( Empat Mawar Kematian ) - part 2


Kediaman Alan

Rumah megah dengan nuansa cat berwarna hijau muda itu tampak ramai daripada biasanya, beberapa mobil dari kepolisian dan tim forensik tampak berjejer rapi di pekarangannya yang sangat luas.

Orang-orang berseragam mulai menelisik, menelusuri setiap jengkal ruangan dalam rumah, mencari sebuah benda yang barangkali bisa menjadi lentera penerang dalam sebuah kasus yang pelik.

“Saya menemukannya!” seru seorang wanita berseragam INAFIS yang tengah berjongkok seraya mengangkat sesuatu dari tempat sampah yang berada di sudut dapur dengan nuansa terbuka. Ia kemudian segera mengabadikan penampakan benda itu melalui tangkapan kamera.

Derian dan timnya segera menghampiri, terlihat di depan mata mereka sebuah tanaman yang telah berwarna kecokelatan karena pembusukan yang terjadi. Tangan Derian yang berlapis sarung tangan segera mengambilnya dan memasukkannya ke dalam sebuah plastik bening yang biasa dijadikan tempat penyimpanan barang bukti.

“Tolong periksa, darah siapa yang ada di bunga ini,” perintah Derian pada wanita tadi. Wanita itu mengangguk, mengambil plastik itu dan undur diri dari sana.

Candrasa berjalan mendekati Derian, setelah sebelumnya memilih menyingkir sebentar karena ingin mengangkat telepon dari rekan timnya yang lain yang bertugas mencari info tentang bangkai anjing kecil yang ditemukan di TKP. “Kak, Ali sudah mendapat info tentang anjing itu,” tutur Candrasa sembari menatap Derian dari belakang.

Tampaknya pria itu tengah mendongakkan kepala seraya memenuhi ruang di paru-parunya dengan menghirup dalam-dalam udara di tempat itu.

“Kak.”

Mata indah itu berangsur-angsur terbuka lebar, Derian kemudian berbalik, menatap Candrasa yang sudah memasang wajah masamnya karena panggilannya tidak digubris. “Ada apa dengan wajah jelekmu itu?” celetuknya.

“Wajahmu lebih jelek dariku!” tukas Candrasa kemudian, tak terima wajahnya yang tampan itu di hina demikian.

Derian hanya tertawa ringan, menghadapi mulut kurang ajar pria itu. “Kau bilang sudah mendapatkan info soal anjing itu?” tanyanya.

Candrasa mengangguk, kemudian menyerahkan gawainya pada Derian, memperlihatkan sebuah rekaman CCTV yang berlatar jalanan yang tidak terlalu di padati kendaraan. “Anjing kecil itu sebenarnya anjing liar yang biasa hidup di jalanan,” tutur Candrasa.

Derian tidak menanggapinya, ia tetap fokus pada rekaman itu. Hingga rekaman itu menangkap momen di mana seekor anjing putih kecil tak sengaja tertabrak sebuah sedan hitam ketika hendak menyeberangi jalan.

Mata Candrasa terpejam sesaat melihat kejadian tragis itu, ketika tubuh kecil itu telah ditutupi warna merah yang sangat kontras dengan bulu putihnya, ia merasa kasihan. Sementara Derian justru sama sekali tak terlihat berkedip, ia tetap fokus pada benda di genggamannya.

“Pengendara itu tetap melajukan mobilnya, tanpa memiliki keinginan untuk sekedar menepikan mayat anjing itu,” jengkel Candrasa.

Rekaman terus bergerak maju, hingga berada di titik di mana seorang pria terlihat berdiri di tepi jalan, memandang lurus ke arah anjing kecil yang terkapar. Ia terus berada di posisi itu selama 5 menit, hingga akhirnya tubuh tingginya bergerak mendekati si anjing kecil, dalam posisi berjongkok tangannya mengusap penuh kasih sayang pada tubuh yang telah kehilangan ruhnya itu.

Ia tak memedulikan bunyi klakson kendaraan dan umpatan kotor para pengendara yang melintas melewatinya. Pada akhirnya pria itu menanggalkan hoddie putih yang ia kenakan, tanpa turut melepas topi dan masker hitam yang membantu menutupi identitasnya. Tangannya menyelimuti tubuh anjing itu menggunakan hoddienya, lalu mendekap tubuh itu ke dalam pelukannya tanpa merasa risi karena kaus hitamnya dilumuri darah segar. Ia kemudian beranjak dari sana, dengan jasad anjing yang turut serta dalam dekapannya.

“Lihat, bahkan seorang pembunuh masih memiliki hari nurani, tak ingin mengotori tangannya untuk membunuh hewan yang tanpa dosa. Dia bahkan mengambil hewan yang memang sudah mati untuk menjalankan aksinya,” ucap Candrasa, matanya terus terpaku pada layar ponsel itu.

Derian terus terbungkam, lentera kehidupan yang mendiami matanya seolah telah padam, diselingi atma di dalam daksanya yang seolah meraung minta dilepaskan.

Kepala pria itu mendadak sakit, segala sesuatu berubah menjadi pelik sesaat setelah melihat sosok di dalam video yang terputar itu. Bayangan tentang masa lalunya terus menerobos jalan pikirannya, pada akhirnya pria itu tak sanggup menyangkal lagi.

Ponsel itu telah terlepas dari genggaman tangan, meluncur bebas menuju tanah bersamaan dengan tubuhnya yang turut tumbang.

“Kak!!!”

Hingga segalanya berakhir dengan kegelapan, kegelapan pekat yang sejak dulu memang menakutkan. Monster mengerikan itu akhirnya benar-benar bangun dari tidur panjangnya, bersiap merajam hidup Derian yang memang sudah hancur lebur dibuatnya.

***

Rumah Sakit

Nayanika itu menatap lekat wajah seorang pria yang tengah tertidur pulas di atas brankar, seolah melepas sejenak segala beban hidup yang memenuhi pikiran. Wajah syok Derian tercetak jelas di benak Candrasa, menghadirkan banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya.

“Sebenarnya apa yang kau sembunyikan, Kak?” lirih pria itu, menatap nanar wajah damai di depannya.

Kelopak mata Derian bergerak perlahan, mencoba melihat kembali dunia yang membuatnya ingin terus terpejam. Pada akhirnya kenyataan yang menghawatirkanlah yang memaksanya untuk tetap membuka mata, hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Candrasa yang diselimuti kabut kekhawatiran sekaligus kekesalan.

Lihat selengkapnya