Bercak Kegelapan Kelopak Mawar

AmertaSandyakala
Chapter #9

9. ( Modus Operandi & Signature Behavior Black Rose ) - part 1

“Ketika kau terlalu membenci seseorang, maka bersiaplah untuk melihat keburukan yang tak terlalu tampak dalam dirimu. Karena sesungguhnya kau pasti juga memiliki sifat buruk yang mereka juga miliki sekecil apa pun itu. Hanya saja kau memang sengaja membutakan matamu karena tak ingin melihatnya.”

~Derian Khandra Wijaya~



Belasan tahun yang lalu

Desir dingin angin malam berembus semakin kencang, menyelusup masuk ke dalam pori-pori dan menciptakan getaran dingin bagi setiap insan yang tak berlindung di dalam ruangan. Pecut bercahaya yang menyambar di langit gelap gulita menambah kengerian suasana, belum lagi rintik hujan yang kian menambah intensitasnya.

Hal itu semakin memorak-porandakan suasana hati seorang pria, yang bergerak gelisah ke sana-kemari karena sukar menemukan keberadaan sang putra.

Ia akhirnya memilih pergi ke halaman rumahnya, berbekal senter yang harus ia pakai karena pemadaman listrik yang tiba-tiba. Tanpa payung yang melindungi tubuhnya, ia terus berkelana ke sana-kemari, menerangi setiap sudut halaman berharap sosok putranya akan terlihat di hadapannya.

Dalam pekatnya malam ia terus berteriak memanggil nama putranya dengan risau. Hingga sebuah suara yang sangat ia dambakan akhirnya muncul di belakangnya.

“Ayah.”

Ia seketika berbalik, senyum lega seketika muncul di wajahnya ketika melihat sosok sang putra telah berada di hadapannya, tersenyum ke padanya dengan senyuman lebar meski tubuhnya telah menggigil kedinginan.

Namun senyum itu spontan luntur, tatkala melihat ekspresi ayahnya yang tengah menatapnya dengan tatapan penuh kengerian.

Anak itu menunduk, mengikuti arah cahaya senter ayahnya yang tengah menyoroti sesuatu di dalam dekapannya.

Seolah mengerti, ia langsung tersenyum manis dan menjawab kebingungan sang ayah yang terus bergeming di sana, “Ah, aku membawanya karena dia sudah mati.”

Senter itu terlepas dari genggamannya, hanya tersisa kilat dari petir yang menyala yang membantu memperlihatkan sosok mengerikan sang putra. Mata pria itu terus berkedip, memastikan kebenaran yang tampak di depan matanya.

Ia seketika berlutut, memegang erat kedua bahu anaknya. “Derian! Apa yang kau lakukan?!”

Derian yang saat itu hanyalah anak kecil hanya bisa menatap ayahnya kebingungan, kenapa ayahnya marah? Apa dia telah berbuat kesalahan?

“Ayah, kenapa ... ?” tanyanya polos. “Apa aku melakukan kesalahan?”

Rian langsung mengambil suatu benda yang sejak tadi berada di dalam dekapan Derian. Benda yang tidak diketahui wujudnya itu telah ditutupi oleh sebuah jaket putih yang warnanya telah tercampur dengan sesuatu berwarna merah yang ia ketahui adalah darah, melalui aroma anyir yang sangat kentara.

Ia meletakkan benda itu di atas tanah, dan langsung menyingkapnya diiringi rasa takut yang sangat ekstra. Tubuhnya seketika terjungkal ke belakang, melihat wujud seekor anjing putih malang yang sudah menemui ajal dengan kondisi penuh darah.

Deru napasnya tak beraturan lagi, melihat kenyataan mengerikan yang menghantamnya saat ini. Dengan rasa waswas ia mengangkat wajahnya, menatap cemas sang putra.

Namun saat tatapan mereka bertemu, justru yang ia lihat hanya tatapan datar itu, tak ada rasa takut, apalagi perasaan bersalah yang seharusnya berbaur menjadi satu. Yang ia temukan dari mata anaknya, hanya tatapan kosong dari mata hitamnya yang bak jelaga.

“Aku menemukannya, saat dia sudah mati ....”

Malam itu adalah kali pertama ia menyadari, ada sesosok monster yang bersemayam di dalam diri putranya selama ini.


***

Derian tengah mengelilingi rak buku berukuran besar yang terpajang di ruang baca rumahnya, anak itu mencari-cari buku filsafat hukum yang sangat di sukainya—sebuah buku bacaan yang seharusnya terlalu berat untuk anak seusianya—namun anak itu memang terlampau genius, IQnya berada di atas rata-rata, sehingga buku sejenis itu pun tak sulit ia pahami sekalipun dalam bahasa asing.

Ketika anak itu tengah asyik mencari-cari buku, tanpa sengaja ia justru menemukan buku catatan ayahnya. Anak itu menjadi penasaran dengan apa yang selama ini ayahnya tuangkan dalam buku itu.

Ia segera membalik halaman dibuku itu satu-persatu, semula senyuman hadir di wajahnya ketika membaca beberapa halaman awal, namun senyuman itu segera sirna ketika ia sampai di lembaran terakhir.

Lihat selengkapnya