Masa Sekarang
Kelopak mata itu terbuka perlahan, memperlihatkan iris hitam pekat dengan cairan bening yang tertahan. Langit-langit ruangan putih kusam yang berada di atasnya pun ia pandangi dengan nanar, seolah tengah mempertanyakan segala badai cobaan yang kian menerpa hidupnya dengan kencang.
Raganya bergerak, sangkar dari jiwa lelahnya yang terbelenggu seakan retak, tak kuat lagi menampung akar dari segala lara yang mulai merembet, ingin menjeremba mengusik ketenangan hatinya.
Derian menegakkan badannya, tangannya kembali memegangi kepala, merasakan sakit dan pusing yang belum usai mendera. Namun setidaknya rasa sakit itu sedikit berkurang, jika dibandingkan sebelum dia melakukan sesi hipnoterapi.
Insomnia dan mimpi buruk yang terus menghantuinya beberapa malam terakhir terpaksa membuatnya kembali lagi ke sini, ke tempat di mana orang-orang depresi mencoba mengobati diri.
Helaan napas panjang terdengar lagi, Derian segera mengangkat kepala, menatap seorang lelaki yang sudah beruban tengah duduk di depannya.
“Kondisimu padahal sudah membaik beberapa bulan terakhir, apa ada hal buruk yang terjadi yang memicu traumamu?” tanya Ilham, raut khawatir tampak kentara di wajahnya.
Kedua sudut bibirnya segera tertarik ke bawah. “Paman, kau tahu soal kasus pembunuhan yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini, kan?” tanyanya. “Kau pasti mengerti apa yang aku khawatirkan,” ujarnya pelan.
Ilham membuang napasnya kasar, rasa bersalah kembali menyerang batinnya. Bayangan ketika Derian kecil pertama kali dibawa ayahnya ke rumah sakit jiwa ini kembali berputar-putar di kepalanya, ia masih ingat tatapan polos namun penuh luka itu.
Andai kata ia tak berjanji pada Derian untuk menyembunyikan rahasia itu dari ayahnya, apakah semuanya akan berubah?
“Paman, kau masih memegang janjimu, bukan?”
Ia kembali memandangnya, tatapan lugu itu masih belum berubah, hanya waktu yang berjalan cepat yang mendewasakan wajah anak itu.
Ingatan itu masih melekat di otaknya, ketika Derian kecil memintanya untuk merahasiakan sesuatu yang hingga saat ini masih ia jaga, kala itu ia berkata, “Paman, berjanjilah padaku, jaga rahasia ini dari ayah dan semua orang. Hanya 3 orang yang boleh mengetahuinya ... Oke?”
“Tentu saja paman masih memegang janji itu Derian. Tapi, cepat atau lambat, bukankah seharusnya ayahmu tahu soal ini?” tanyanya hati-hati.
Lelaki itu segera menggelengkan kepalanya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, terpahat sebuah senyum pias di wajahnya. “Akan lebih baik jika ia tidak mengetahuinya, selamanya ...” jawabnya.
“Aku tahu ini salah, Paman. Tapi hanya ini satu-satunya cara untuk melindunginya,” lanjutnya, ia tersenyum getir. “Maaf jika kami membuatmu kesusahan selama ini, tapi aku sangat berterima kasih. Karena Paman, mau menjaga rahasia ini, termasuk juga rahasia pembunuhan yang ayahku lakukan.”
Ilham menggelengkan kepalanya. “Tidak Derian, soal pembunuhan yang dilakukan ayahmu, bukannya aku ingin menutupinya. Tapi memang suap yang dilakukan ayahmu pada petinggi kepolisian itu memang berhasil membungkam mereka,” timpalnya tegas, dirinya masih merasa marah atas kelakuan keji yang dilakukan sahabatnya itu.
“Hal itu kembali lagi padamu, kaulah satu-satunya orang yang bisa membongkar rahasia ini. Paman tahu ini sulit, tapi coba pikirkanlah lagi, kesedihan yang sama yang dirasakan keluarga korban.”
Pria itu mengangguk lemah, tubuhnya terasa penat. Pada akhirnya ia hanya bisa tersenyum getir sambil berucap, “Aku hanya belum bisa menerima konsekuensi yang akan terjadi, jika aku membongkar semuanya ....”
***
[ Markas Penyelidikan Gabungan Pembunuhan Berantai Black Rose ]
Rinai hujan masih setia menampar bumi sejak beberapa jam lalu, hingga intensitasnya yang tinggi mampu melubangi cadas yang sebelumnya keras dan kering kerontang.
Aroma khas tanah gersang yang berbaur dengan air hujan terasa begitu memabukkan, wanginya yang mampu membuat candu bisa merelaksasi pikiran hingga menentramkan jiwa, setidaknya bagi beberapa manusia.
Genangan airnya menciptakan jejak ketika terpijak. Lantai yang sebelumnya berwarna putih bersih terpaksa berhiaskan tato temporer berbentuk alas sepatu beragam rupa berwarna kecokelatan, yang akan menghilang dengan sendirinya ketika dibersihkan.
Lorong bangunan itu mendadak terasa sesak, ketika empat orang lelaki dengan masing-masing kotak besar ditangan berjalan beriringan mencari sebuah ruangan.
“Sepertinya ini ruangannya?” ujar Ali, ketika langkah kaki mereka terhenti tepat di depan sebuah ruangan dengan pintu kaca buram. “Sebaiknya kita ketuk saja,” cetusnya pada Derian.
Lelaki itu sudah tidak kuat menahan berat kotak berisi berkas-berkas di tangannya—maklum saja, usianya hampir memasuki kepala 4, jadi energinya cepat terkuras.
Derian mengangguki, dengan segera ia meletakkan kotaknya di atas kotak Candrasa, tak memedulikan kalau tangan pria itu sudah gemetar karena merasa keberatan. “Kak! Kenapa kau menyuruhku membawanya?” protesnya.
“Lalu siapa lagi? Kau menyuruh pak Ali membawanya?” sangkalnya. “Kau ingin durhaka pada orang tua?”
Candrasa memutar kedua bola matanya malas, kini pandangannya beralih pada seorang pria yang tampak lebih muda darinya, yang tengah berdiri di belakang tubuh Derian. “Tapi di sini juga ada Khiran, Kak. Kenapa tidak memberikan ini padanya saja?” kesalnya, terutama ketika melihat senyum penuh kemenangan yang terbit di wajah Khiran.
Sementara Derian tak ingin mengindahkan ocehan Candrasa lagi, ia memusatkan perhatiannya pada pintu itu.
Tangannya terulur ingin mengetuknya, namun belum sempat tangannya menyentuh permukaan pintu, pintu itu sudah terlebih dahulu terbuka dengan seorang pria di baliknya.
Pria muda sepantar Candrasa itu memandang beberapa wajah asing di depannya satu-persatu. Pada awalnya ia hanya ingin menegur suara keributan yang berasal dari sini, namun justru yang ia temukan malah keempat manusia dengan segala barang bawaannya. Pandangannya tersapu pada 2 kotak yang dibawa Candrasa, tulisan di luar kotak itu pada akhirnya mengusir rasa kebingungannya.
“Pembunuhan berantai Black Rose?” bacanya pelan.
“Maaf, bisakah Anda terlebih dahulu izinkan kami masuk?” tanya Candrasa sengit, merasa kesal melihat muka pria yang menurutnya bodoh itu masih saja termangu di hadapannya, sementara tangannya mati-matian menahan pegal.
Pria itu seketika tergelak. Ia baru saja ingin mempersilahkan orang-orang itu masuk, sebelum sebuah suara yang mengalun lantang kembali menginterupsinya.
“Cakra, kenapa kau diam saja? Suruh mereka masuk!”
Dari ambang pintu mereka bisa melihat seorang pria yang tengah berdiri di balik meja kerjanya, tengah memerhatikan mereka dengan tatapan terkesan, dingin? Tidak, sebenarnya pria itu hanya menatap intens pada satu orang dengan mata coklat terangnya.
Derian yang ditatap seperti itu tentu saja merasa risi, apa lagi sepertinya ini kali pertama mereka bertemu, tapi kenapa pria itu seperti sudah mengibarkan bendera perang di antara mereka? Sementara Candrasa tak lagi ambil pusing, ia melangkah ringan ke dalam sana, tak memedulikan tatapan perseteruan antara atasannya dan pria yang baru saja dijumpainya.
Ia segera meletakkan kotak-kotak sialan itu di atas meja berbentuk persegi panjang yang berdiri di tengah-tengah ruangan. Sementara Derian, Khiran, dan Ali perlahan ikut menyusulnya, tentu saja dengan langkah kaki yang lebih beradab.
“Saya kira kalian akan datang pagi tadi?” tanya seorang pria pada mereka, dari perawakannya sepertinya ia sudah memasuki usia pertengahan 30-an.
Perhatian Derian akhirnya teralih dari pria bermata coklat terang yang terus menatapnya tajam. “Maaf Pak, tadi kami harus terlebih dahulu mengumpulkan semua berkas terkait kasus ini,” jawab Derian sopan.