Bercak Kegelapan Kelopak Mawar

AmertaSandyakala
Chapter #11

11. Perburuan Keempat ( Senandung Duka Cita Di Istana Boneka ) - part 1

“Kematian paling menyakitkan adalah melalui penderitaan, dan penderitaan itu sendiri akan berubah menjadi kebahagiaan ketika melihat orang yang kau benci mati berkali-kali dengan cara yang mengenaskan.”

~Black Rose~


Embusan napas hangat dari seorang pria tampak meninggalkan jejak buram pada permukaan kaca di depannya, menandakan suhu ruangan yang saat itu lebih rendah dari udara yang berasal dari paru-parunya.

Tak ayal, waktu memang sudah menunjukkan tengah malam, suhu dingin khas malam hari turut menyelubungi badannya yang terbungkus baju sweter berwarna hitam.

Tangan kanannya mengangkat sebuah cangkir kopi yang masih penuh, uap panas berwarna putih itu terus mengepul di udara, membebaskan dirinya dari kungkungan wadah berbahan keramik putih dengan cairan hitam pekat beraroma khas di dalamnya.

Ia mendekatkan cangkir itu ke mulutnya, bibir merah alami itu mulai menyesap kopi panas sedikit demi sedikit, hingga cairan pahit yang membuat candu itu mulai meninggalkan jejak rasa di lidahnya.

Nayanika miliknya tak henti-hentinya menyeberangi batas kaca, memandangi mangata—bayangan bulan di air yang berbentuk seperti jalan—yang terlukis indah di permukaan genangan air di halaman rumahnya yang terbentuk seusai hujan.

Pendar cahaya dari sang purnama yang baru muncul terlihat begitu menentramkan hati, namun justru terlihat seperti sebuah elegi di mata pria ini. Memunculkan gelayar sendu di hati yang belum sepenuhnya mati.

Suara seorang wanita muda terdengar memenuhi ruangan, berita terbaru yang dibawakannya terdengar seperti sebuah musik lullaby di ujung keheningan. Suara familier yang berasal dari News Anchor cantik yang muncul di layar televisi itu menarik perhatiannya.

Pria itu perlahan berbalik, menatap dari kejauhan wajah wanita itu, dengan telinga yang menangkap setiap kata yang diucapkannya.

... Kasus pembullyan kembali mencoreng citra baik pendidikan di Indonesia, seorang siswi kelas sepuluh dari sebuah sekolah menengah atas ternama di Jakarta, ditemukan tewas di dalam gudang sekolahnya. Berdasarkan hasil autopsi, di temukan banyak luka lebam di tubuh korban, korban berinisial MA ini diduga menjadi korban penganiayaan oleh teman sekolahnya ....

“Mawar ... nama yang terlalu indah untuk seorang wanita buruk rupa sepertimu. Bahkan durinya yang tajam sekalipun masih terlalu cantik untuk menggambarkan betapa bengisnya hatimu ...” desisnya.

Sorot matanya yang semula sayu mendadak dipenuhi kegelapan, seperti adanya sesosok monster yang bersembunyi dalam keheningan jiwanya memaksa untuk keluar.

“Kau ... terlalu pandai bermain kata-kata. Apakah kau tak ingat? Ketika kau membunuh Bella dulu?”

Cengkeraman tangannya pada cangkir semakin mengerat, sorot matanya semakin menggelap. Monster dalam dirinya benar-benar bangkit kembali.

“Haruskah aku, mengingatkannya untukmu, tuan putri ...?” lontarnya, bersamaan dengan rintik hujan yang kembali menaburi daratan, yang mengakibatkan tertelannya sinar indah rembulan untuk kembali ke dalam pelukan samudera kabut malam.

Wanita cantik dalam layar televisi itu juga turut tersenyum cerah, tanpa tahu bahwa esok hari malaikat kematian akan menjemputnya untuk dibawa ke kastel penuh kutukan.

***

Mawar POV

Petang ini, tak ada warna jingga dari swastamita yang menyala di cakrawala, hanya ada abu-abu gelap dari gumpalan kapas yang menggantung di langit yang tak mampu memanjakan mata. Mungkin sebentar lagi petrichor akan menyebar di seluruh sudut kota jika langit menumpahkan air matanya.

Taksi online yang kini kutumpangi mencoba menyibak lautan kendaraan yang memenuhi ruas jalanan, melenggok ke sana-kemari mencari ruang yang mungkin bisa membuat roda mobil ini bergerak ke depan barang beberapa meter saja.

Jam pulang kerja membuat jalanan yang biasa kulewati ini macet parah seperti hari-hari biasanya, pengemudi roda dua hingga roda empat berlomba-lomba ingin cepat-cepat pulang ke rumahnya masing-masing.

Tak jarang juga kujumpai beberapa penjaja asongan hingga anak jalanan yang tengah duduk di trotoar, mengusap peluh menggunakan lengan bajunya yang kotor dan berantakan. Penampilan itu membuatku bergidik seketika, membayangkan betapa baunya keringat yang menguar dari tubuh-tubuh kurus itu.

Ihhh ... hanya dengan membayangkannya saja sudah cukup membuatku jijik!

Kualihkan mataku dari pemandangan kotor itu. Memandang kembali ke depan, hingga tanpa sengaja pandanganku dan pandangan sopir taksi tua ini bertemu melalui spion tengah. Apa dari tadi pria bangkot ini diam-diam memperhatikanku ... ?!

Pria tua itu tiba-tiba tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang mulai menghitam dan ompong di beberapa bagian. “Mbak ini presenter yang terkenal itu, ya?” celetuknya tiba-tiba.

Kulemparkan senyum ramah yang palsu padanya. “Iya.”

Lihat selengkapnya