Bagaskara—matahari—sudah sepenuhnya memejamkan mata, keelokan sinarnya tenggelam dalam tirai kegelapan yang mulai menyelimuti beberapa sudut alam semesta.
Aku hanya bisa melihat gemintang yang berkelap-kelip melalui atap plafon yang menganga, bagai mulut monster yang tengah menanti mangsanya.
Setangkai mawar putih penuh darah terkulai angkuh dalam pangkuanku, aku hanya bisa menangis tanpa henti, memandang pasrah pada mawar berdarah dengan pikiran buruk yang mengelana mengusik ketenangan hati.
Sesekali rudira masih menetes dari dahi, pukulan keras tadi menyebabkan rasa sakit penuh siksa yang merajam kepala seakan nyawa sudah terlepas dari daksa.
Isakan putus asa terus keluar dari bibir ini. Aku sangat takut ... Tuhan, tolong ampuni aku! Tolong bantu aku keluar dari sini ... !
“Tuan putri sudah bangun rupanya ... bagaimana? Apa kau menyukai istana barumu?”
Degup jantungku seakan terhenti, suara yang terdengar itu bagai sebuah peringatan tersendiri bahwa kematian akan segera datang padaku.
Temaram dari sebatang cahaya lilin yang menyala di lantai sedikit menerangi sekitar, aku menoleh ke sana-ke mari mencari pria itu. Namun yang terlihat hanya beberapa boneka porselen usang yang diletakkan di depan sebuah miniatur istana, boneka-boneka dengan pakaian menyerupai putri kerajaan itu memiliki penampilan layaknya manusia yang justru bisa menambah kadar keseramannya.
Lubang kosong mengaga dari salah satu boneka yang seharusnya ditempati oleh bola mata itu, seperti menyimpan sebuah kehampaan dari seonggok jiwa yang telah lama terkungkung di dalamnya.
Sementara boneka lainnya memang memiliki bola mata yang utuh, namun justru seperti berperan sebagai budak iblis yang selalu mengawasi setiap gerak-gerikku, tak ada kesan manis yang tercipta, yang ada hanya sebuah seringai iblis yang terukir dari bibir merah muda yang warnanya sudah mulai memudar.
“Tuan putri ... kau tak lupa dengan tempat ini, bukan?” embusan napas hangat menggelitik tengkukku, tubuhku menegang seketika.
Hawa dingin kian terasa ketika sebuah telapak tangan tiba-tiba merayap ke atas pundakku. Aku menoleh, dan kudapati sebuah tangan berbalut sarung tangan lateks tengah menyentuh pundakku dengan lembut.
“Tentu saja kau tak akan melupakannya,” lontarnya, ia kemudian berjalan sembari menarik sebuah kursi dari arah belakang. Suara decitan antara gesekan kaki kursi dan permukaan keramik menggema di seluruh ruangan.
Ia meletakkan kursi itu di hadapanku dan mulai mendudukinya.
“Suara tangisan itu, wajah penuh harap bahwa kau akan mengampuninya, pasti menjadi kesenangan tersendiri bagi wanita bengis sepertimu, bukan?!” Pupil matanya melebar, air matanya tertahan, segala emosi yang ia pendam mencoba tak ditumpahkan.
Apa ini? Bukankah Black Rose adalah seorang psikopat? Bukankah seorang psikopat seharusnya tidak memiliki emosi? Tapi ... kenapa dia seperti dipenuhi emosi?
“Apa kau tidak penasaran? Seberapa besar rasa takut yang ia rasakan saat kau dan teman-teman busukmu itu meninggalkannya sendirian di sini?! Di tengah kegelapan yang bahkan ia sendiri tidak tahu arah jalan pulang!” berang pria itu.
Melihatnya emosi seperti ini membuat darahku mendidih karena takut yang teramat sangat, aku hanya bisa menundukkan kepala, tak mampu menatap matanya.
Tangannya tiba-tiba meraup rahangku dengan kasar, menekannya keras hingga menimbulkan rasa sakit. “lihat aku!” hardiknya keras.
Kepala ini terangkat sedikit demi sedikit, air mata berjatuhan tanpa henti. Hal pertama yang kulihat saat kami bertatapan adalah matanya yang sudah dikuasai amarah, wajah ramah dan pandangan lembut yang terekam dalam memori sepertinya hanya sebuah topeng belaka guna menyembunyikan kebusukannya.
Ia menyambar perban bekas yang sebelumnya ia gunakan untuk melilit tangannya dari mulutku, sekarang mulutku sudah bebas. Namun kata yang terucap hanya, “Tolong lepaskan aku ...” lirihku disela isak tangis.
Namun ia hanya terdiam, rahangnya tak mengeras seperti tadi, tapi api amarah masih menyala di balik matanya. Aku tak bisa memahami emosinya.
“Kau sudah bisa merasakannya ... ?” desisnya. “Rasa takut yang Bella rasakan dulu ...” Air mata menggenang di pelupuk matanya.
“Maafkan aku ...” sesalku seraya terisak keras, “aku selama ini juga menyesal, aku—”
“TAPI DIA SUDAH MATI! TEMAN YANG KUPUNYA SATU-SATUNYA SUDAH MATI! DIA SEKARAT SENDIRIAN DI SINI KARENAMU!!!” Bentaknya keras, ia membanting kursi yang ia duduki ke atas lantai.
Aku hanya bisa memejamkan mata ini rapat-rapat, sembari mendengarkan deru napasnya yang terengah-engah karena diselimuti amarah.
Tolong ... percayalah. Selama ini aku juga merasa bersalah, aku tak bermaksud untuk membunuhnya, aku hanya ingin membuatnya jera! Aku iri dengan kecantikannya, aku iri karena dia disukai banyak orang, aku juga iri karena dia bisa dekat denganmu! Batinku menjerit keras.
“Aku menyesal ... aku menyesal ... tolong lepaskan aku ....”
Lonceng berukuran besar yang berdiri kokoh di depan istana boneka ini tiba-tiba berbunyi, angin menggoyangkannya tanpa henti, burung gagak yang berputar-putar di langit turut bernyanyi; alam seakan mengerti, ini adalah saat yang tepat untuk memainkan lagu denting kematian sebagai ucapan selamat tinggal untukku.
“Saatnya memilih, Tuan putri ...” ujarnya, kuberanikan diri menatap matanya, dan di sana hanya kutemukan mata gelap dengan amarah yang meneranginya. “Pisau atau obeng ... ?” tanyanya lirih.
Ia kemudian berjongkok tepat di hadapanku, matanya terpaku pada wajahku, mata ini spontan terpejam rapat tak kuat menatap ekspresi seramnya. Tubuhku gemetar hebat, peluh semakin berdesakan keluar dari pori-pori kulit ini.
Tangannya terulur, sebuah usapan lembut di kepala bisa kurasakan, badan ini semakin membeku, bahkan deru napas ini seakan terhenti di detik itu.
“Pilihan yang sulit, bukan?” tanyanya dengan nada lembut. “Tak apa ... agar kau tak salah memilih, aku akan memberi sedikit penjelasan untuk keduanya.”
Ia mengambil sebuah pisau yang tergeletak berdampingan dengan sebuah obeng di atas lantai, yang tak jauh dari tempatnya duduk.
Mata pria itu seketika menyala ketika mengelus permukaan mengkilap dari pisau itu, seperti ada sebuah energi yang membangkitkan gairah di dalam dirinya.
“Pisau ini akan membuat kulit indahmu berwarna semerah lipstik yang ada di bibirmu. Tapi jika kau memilih obeng ...” Ia mendekatkan ujung pisau itu di permukaan wajahku, aku spontan memejamkan mata dan memalingkan wajah, ketika pisau itu menciptakan goresan kecil yang menyakitkan. “Mungkin aku akan membuat wajah cantikmu itu menjadi kanvas hidup ....”
“Bagaimana ... ? Kau sudah tahu ingin menjawab apa?” tanyanya pelan.
Darah di tubuhku seketika mendidih lagi, rasa takut mencekikku hidup-hidup. Bibir ini gemetar, hanya tangis keras yang bisa aku keluarkan.
“Pilihlah ...” bisiknya.
“Pilihlah, Tuan putri ....”
“CEPAT PILIH JALANG!!!” Plak! Tamparan keras mendarat di pipi, rasa panas menjalar di kulit wajahku, tangisku semakin pecah, air mata meluruh deras.
“Ob—obeng ...” lirihku disela isak tangis, kepala ini menunduk lemah, pasrah atas semua rasa sakit yang akan aku terima ke depannya nanti.