“Ada tiga hal paling beracun yang mendasari kehancuran hidup setiap manusia, yang pertama adalah kedengkian, yang kedua adalah rasa tidak puas akan suatu hal, dan yang ketiga adalah rasa iri atas kelebihan yang dimiliki orang lain. Dan bukankah karya seniku kali ini sangat mewakili kehancuran itu? Rasa iri yang meracuni hatinya, membuatnya menutup mata akan rupa asli wajahnya sendiri, bukankah sosok binatang buruk rupa yang ada di depan mata kalian sekarang adalah wujud aslinya? Sungguh menyedihkan bukan? Seumur hidupnya, binatang buas ini selalu membodohi dirinya sendiri, dengan berpikir kalau dirinya sendiri adalah seorang tuan putri yang cantik.”
~Black Rose~
Siang menyapa, namun nyala api jagat semesta masih berupa bara, karena cahayanya yang menyilaukan tenggelam dalam kabut hitam yang memenuhi setiap sudut cakrawala.
Mungkin sebentar lagi kabut hitam itu akan menumpahkan air mata langit yang menjelma menjadi air hujan, dan rintihan hatinya akan serupa dengan guntur yang memekik kencang.
Lalu lalang dari para insan yang bergegas mencari tempat perlindungan ketika langit sudah mulai menangis sama sekali tak mengusik ketenangan pria itu, ia masih senantiasa tenggelam dalam monolog runyam, dan perang batin yang memakan kewarasan jiwanya.
Kepalanya terkulai lemah di atas meja, netranya menyapa hujan melalui jendela, sebuah sapaan kosong karena tak ada sedikit pun ekspresi di wajahnya.
“Kak Derian ...” Sebuah panggilan dari suara yang tak lagi asing segera menariknya keluar dari celah kenangan buruk yang mengungkungnya dalam jeruji besi hati.
Ia menegakkan badan, memandang sepasang manik coklat di hadapannya dan tersenyum seperti hari-hari yang lalu ketika ia menatap wajah itu. “Kenapa ... ?”
Candrasa menggeleng pelan. “Kau tertidur?”
Derian tersenyum kecil. “Tidak, hanya sedikit kelelahan,” jawabnya singkat.
“Kasus kali ini memang menghabiskan banyak tenaga,” timpal Candrasa. Ia sibuk memainkan jarinya di atas keyboard laptop sehingga tak menatap lawan bicaranya.
Derian hanya tersenyum samar dengan kepala sedikit tertunduk. “Memang ...” ujarnya pelan. Kepalaku juga serasa mau pecah karena memikirkan masalah ini, Candrasa ... batinnya berbicara.
Bel kecil yang tergantung di pintu kafe berbunyi, Derian mengangkat kepala saat mendengar suara gemerincing yang memasuki telinganya. Ia seketika tersenyum ketika melihat dua orang pria dengan pakaian sedikit basah terlihat sibuk menyingkirkan air yang membasahi rambut mereka.
Perhatian Candrasa teralih, ia terlihat keheranan melihat Derian yang tiba-tiba tersenyum seraya melihat ke satu arah. “Kenapa ... ?” tanyanya.
Pria itu menunjuk ke arah belakang Candrasa menggunakan dagunya. “Arkana sama Cakra.”
Candrasa spontan memutar tubuhnya ke belakang, memang saat ini tak jauh dari tempatnya duduk ia bisa melihat Dave dan juga Cakra tengah berdiri di dekat pintu masuk sambil menoleh ke sana-kemari—mereka sibuk mencari celah untuk duduk di kafe yang sudah padat itu.
Candrasa menatap kembali Derian, ia menautkan kedua alisnya kebingungan, tampak sebuah tanda tanya muncul di kepalanya saat ini. “Kenapa kau memanggil si Dave dengan nama Arkana?”
Derian mengerutkan keningnya. “Kenapa? Bukankah namanya memang David Arkana?” jawabnya.
“Tapi orang lain memanggilnya Dave, kau sendiri yang memanggilnya Arkana,” tandas Candrasa.
Derian tergelak, ia terkekeh kecil. “Memangnya kenapa, sih? Lagi pula itu Cuma nama panggilan. Aku hanya tidak nyaman memanggilnya Dave, karena namanya sama dengan nama anjingku yang sudah mati.”
Pria di depannya tampak terbengong sesaat, selang beberapa detik ia tertawa sendiri. “Jadi saat kau memanggilnya Dave, kau merasa sedang memanggil anjing?” tanyanya di sela tawa.
Derian menahan tawa, ia menempelkan jari telunjuknya di bibir; menyuruh Candrasa menghentikan gelak tawanya yang tak berkesudahan, dan di saat itulah mereka mendengar suara orang yang sedang berdeham di dekat mereka.
Kedua pria itu kompak menoleh, dan segera mendapati Dave bersama Cakra yang sudah berdiri tepat di samping meja mereka.
“Meja yang lain sudah penuh, apa kami boleh duduk di sini?” lontar Cakra pada Derian.