Istana Boneka / TKP
Tak ada lagi suara nyanyian serangga yang mengusik keheningan bangunan terbengkalai itu, satu-satunya sumber suara yang biasanya menghasilkan kebisingan telah tergantikan percakapan manusia-manusia berseragam yang menelisik setiap jengkal ruangan, hingga suara isak tangis dan raungan yang muncul akibat rasa kehilangan.
Perasaan gamang masih enggan buyar, kenangan buruk hilir-mudik dan menghadirkan hiruk pikuk yang menyebalkan di kepalanya, rasa risau yang paling ia benci turut terlibat dan enggan mengungsi barang hanya sebentar.
Telinganya berdengung nyeri, suara-suara yang membangkitkan trauma lamanya serasa di teriakkan tepat di gendang telinga, dan rasa pening itu membawa hening yang cukup lama—kebisingan di sekitarnya mendadak sirna, seolah hanya ada ia dan mayat wanita itu yang sedang berpijak pada dunia yang mereka singgahi.
“Apa kamu membunuhnya?!”
“Ayah! Apa yang sudah aku lakukan?!”
“Kamu monster! Menjauh dariku!”
“Aku menemukannya saat dia sudah mati.”
“Kenapa kau menaruh bunga mawar putih di atas kuburannya?”
“Tidak, bukan aku yang membunuhnya.”
“Ayah! Aku bukan monster!”
Rekaman dari suara-suara yang pernah ia dengar di kehidupannya mendadak terputar secara acak, netranya melekat sempurna pada seonggok daksa seolah ada sesuatu yang membuatnya enggan berpaling dari ‘Karya seni’ mengerikan yang membuat siapa pun bergidik ngeri saat melihatnya.
Namun berbeda dengan Derian, dia justru memandangi raga itu dengan tatapan nanar? Sendu? Atau bahkan bersalah? Entahlah, tidak ada yang tahu pasti, hanya dia sendiri yang bisa menjelaskan tentang perasaan yang saat ini mengakar di nuraninya.
“Padahal baru beberapa hari yang lalu aku melihatnya di TV, wanita ini membawakan berita tentang Black Rose.”
Candrasa yang mendadak muncul dari belakang Derian mengajaknya bicara, ia menghela napas berat seraya sorot matanya mengarah pada raga yang tak lagi berbentuk seperti manusia.
“Dan kini keberadaannya di sini bukan lagi untuk menyiarkan berita, tapi sekarang dia justru sedang mengalami pergantian peran, dan perannya yang sekarang adalah menjadi korban.” Ia hanya bisa menatap iba pada seonggok daksa yang tak lagi bernyawa.
Derian masih enggan menoleh, nayanika miliknya masih setia terpaku pada raga tanpa ruh itu. “Hidup adalah panggung sandiwara, Candrasa. Kau hanya perlu melakoni peran yang dipilihkan tanpa keluhan, karena keseluruhan alur cerita sudah di atur oleh sutradara,” tuturnya dengan tatapan kosong.
Candrasa menoleh, ia memandangi Derian dengan sayu. “Tapi kau tidak perlu lagi bermain peran jika kau menjadi sutradara itu, kan?” balasnya lagi.
Derian akhirnya memalingkan wajah, sorot matanya yang sendu terpaku tepat di sepasang netra itu. “Tapi bagaimana jika kita ditakdirkan untuk melakoni peran-peran itu, bahkan sejak lahir? Apakah kita masih mempunyai harapan?” suaranya mengalun lirih.
“Tenang saja, menjadi seorang aktor tidak seburuk yang kau pikirkan. Selama peran yang kita mainkan memiliki akhir yang baik.” Ia mengakhiri ucapannya dengan senyuman lembut dan beberapa tepukan pelan yang menenangkan di punggung Candrasa.
Candrasa hanya terdiam, hingga akhirnya pria itu turut tersenyum bersama Derian.
“Kita sudah memberi himbauan pada masyarakat untuk berhati-hati dan melapor jika menerima kiriman bunga mawar yang aneh, tapi kenapa masih ada korban? Apa pelaku mengubah Modus Operandinya?” Dave yang baru tiba di TKP bertanya pada Candrasa.
Candrasa berbalik, tampak di matanya Dave yang tengah memakai sarung tangan putih dengan Cakra di sampingnya. “Tampaknya seperti itu,” jawab Candrasa, sembari menunjuk 4 tangkai bunga mawar di sana.
Tangan kiri Dave mengais setangkai mawar putih yang kelopaknya telah berganti warna menjadi merah kecokelatan karena telah dibasahi oleh darah.
“Tidak ada pengiriman bunga mawar lagi, Black Rose benar-benar mengubah modus operandinya.” Dia mengamati setiap jengkal bunga itu sebelum memasukkannya ke dalam sebuah kantong plastik.
Cakra ikut berjongkok di samping Dave, ia memasang raut wajah serius, kini tangan pria itu menjeremba setangkai mawar putih yang di setiap kelopaknya terdapat bercak-bercak kemerahan yang menggelap.
“Tidak ada pengiriman bunga lagi, itu artinya tidak ada peringatan. Bukankah itu akan jauh lebih berbahaya? Karena kita tidak tahu siapa yang akan menjadi target selanjutnya,” ujarnya.
Pria itu balik menatap Cakra, yang dikatakan Cakra memang sangat benar, situasi yang akan terjadi ke depannya pasti akan jauh lebih berbahaya, apalagi mereka masih belum mengetahui secara jelas gambaran modus operandi Black Rose yang baru.
Sementara kedua orang itu larut dalam ketakutannya masing-masing. Derian justru tenggelam dalam pemandangan kontras yang ada di hadapannya, dua tangkai bunga yang sebelumnya sudah diambil kini hanya menyisakan setangkai mawar putih tanpa noda dan setangkai mawar hitam plastik yang tak akan pernah layu dan terus abadi.
Kini kedua bunga itu terbaring bersama dan menghadirkan pemandangan warna yang cukup kontras, di tengah-tengah mereka terdapat sepucuk surat berdarah yang menceritakan dosa-dosa korban yang tertulis secara tersirat, bersama kain kasa bekas yang di permukaannya terdapat warna kemerahan yang diduga berasal dari lipstik.
“Apa yang kau pikirkan, Kak?” tanya Candrasa yang melihat Derian tengah tenggelam dalam dunianya sendiri.
Dave dan Cakra yang sebelumnya tengah serius membicarakan tentang modus operandi ikut terusik, kedua pria itu akhirnya bangkit dan menemukan Derian yang sedang terhanyut menatap ketiga benda di hadapannya tanpa jeda.
“Mawar putih bersih melambangkan kesucian, sama seperti saat manusia baru lahir dan belum menyentuh dosa.” Suara Derian mengalir perlahan. “Mawar putih dengan bercak darah, menggambarkan awal bagaimana manusia mulai dikotori oleh dosa.”
Dia memberi sedikit jeda dalam ucapannya, membuat ketiga orang itu menanti dengan rasa penasaran. “Mawar putih yang dipenuhi darah, merupakan lambang dari hati manusia yang sudah di penuhi dosa, dan tidak bisa diselamatkan lagi.”
Sorot matanya mulai berubah, api yang menyala di pucuk lentera kehidupan yang menerangi kalbunya mendadak goyah, pria itu terengah. “Dan mawar hitam plastik itu ...."
Perkataannya tertahan akibat deru napas yang mendadak tercekat, seperti ada setumpuk batu yang menimbun rongga dadanya dan mengakibatkannya sulit mengeluarkan suara.
“... Adalah lambang kematian sekaligus keabadian ... Dia sengaja menggunakan bunga plastik, karena jika menggunakan bunga mawar yang asli tampaknya itu akan mudah layu. Tapi jika menggunakan bunga yang terbuat dari plastik, itu akan bertahan sangat lama. Sementara dia sepertinya ingin menggambarkan tentang keabadian, bukan keabadian hidup. Tapi keabadian dosa-dosa manusia yang tidak bisa terhapus kan lagi, sekalipun mereka sudah mati, kesalahan-kesalahan dan dosa mereka akan tetap hidup abadi selamanya.”
“Dan surat itu.” Ia menunjuk surat berdarah. “Adalah alasan sebenarnya ia membunuh korban, karena di surat itu secara tersirat menggambarkan perilaku dan dosa yang korban lakukan semasa hidup. Ia akan menentukan sendiri orang-orang yang pantas dieksekusi melalui pandangannya, dan cara eksekusi mereka juga ditentukan oleh dosa-dosa apa saja yang mereka lakukan.” Segera, tangannya perlahan terkulai lemah, seperti separuh jiwa berhasil lolos dari sangkarnya yang berupa raga.
“Dari mana kau menyimpulkan hal itu?” tanya Dave seraya memandang pria itu serius.
“Dari sudut pandang pembunuh.” Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulutnya.
Dave tertegun, jawaban yang tak ia harapan keluar dari mulut Derian. Pria itu segera memicingkan matanya curiga. “Kau baru saja berbicara seolah kau adalah pembunuhnya,” sinisnya.
Tak ada elakkan dari Derian, laki-laki itu terbungkam dengan kabut kesedihan yang masih menyelimuti matanya.
“Apa maksudmu?! Kau mencurigainya?! Jangan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal!” sentak Candrasa.
“Kau yang tidak masuk akal! Bukankah dia memang mencurigakan?!” sangkal Dave. “Lihat saja, dia mengatakan hal-hal yang tidak akan dimengerti oleh orang normal. Dan bukankah dia juga bertangan kidal? Sungguh suatu kebetulan!” cibirnya.
Sorot matanya menggambarkan kebencian yang teramat dalam pada Derian. Derian yang menerima sorot mata itu hanya bisa balik menatapnya sayu dengan perasaan bersalah yang bersarang di hatinya.