Bercak Kegelapan Kelopak Mawar

AmertaSandyakala
Chapter #15

15. ( Antara Logika Dan Hati Nurani ) - Part 1


Rumah Mawar

Ruang tamu yang sangat besar, dengan interior mewah yang didominasi kesan elegan dari perpaduan warna emas dan tembaga yang berkilauan, sebuah sofa mahal yang sangat nyaman ketika diduduki, dan beberapa vas cantik yang berhasil dibeli dari hasil pelelangan para kolektor penggila barang mahal; sepertinya sudah cukup menggambarkan betapa kayanya keluarga mawar.

Jika hal-hal tadi belum cukup membuatmu berimajinasi tentang banyaknya pundi-pundi uang yang tersimpan di brankas rumah itu, artinya kalian harus melihat tampilan mewah dari wanita yang kini tengah terduduk angkuh di sofa, berhadapan dengan Dave dan Cakra.

Dave menatap lekat wanita di hadapannya, rambutnya yang ikal terurai lembut, lipstik berwarna merah mencolok terpoles tebal di bibirnya, tubuhnya yang ramping terbalut pakaian berharga jutaan yang merupakan brand pakaian terkenal dari luar negeri.

Terlintas sebuah pertanyaan di benak Dave saat melihat tampilan mewah dari wanita berusia kisaran pertengahan 40-an itu, sebenarnya berapa banyak gebok uang yang dihabiskan orang-orang kaya dalam sebulan? Jika dalam sehari saja mereka bisa menghabiskan berjuta-juta uang hanya untuk berpakaian?

Wanita itu meletakkan sebuah cangkir berisi teh yang telah tandas di atas meja, ia kemudian menyilangkan kaki, terduduk tegak dan menatap tajam ke arah dua pria di hadapannya; seolah memberi tahu kalau rumah ini adalah daerah kekuasaannya, dan kedatangan kedua pria itu hanya mengusik kenyamanannya.

“Sebenarnya apa yang membuat kalian datang ke mari? Bukankah aku sudah mengirim kuasa hukum terkenal untuk mengurusi hal ini?” tanya Dania.

Air mukanya memperlihatkan sedikit kemarahan, sebuah ekspresi kontras yang seharusnya tidak diperlihatkan oleh seseorang yang baru saja kehilangan anak.

“Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal yang seharusnya tidak diketahui kuasa hukum,” balas Dave segera. Dania sedikit kebingungan. “Karena pertanyaan kami ini menyangkut masa lalu Mawar, yang seharusnya hanya diketahui orang-orang terdekatnya termasuk keluarga.”

“Tidak perlu berbasa-basi, langsung saja ke intinya. Ada keperluan yang lebih penting, aku harus segera pergi ke perusahaan.”

Dave menghela napas dalam, berusaha sedikit bersabar menghadapi wanita angkuh ini. “Apakah Mawar memiliki masa lalu yang disembunyikan dari orang lain?” tanya Dave hati-hati.

Kening Dania seketika berkerut dalam. “Apa maksudmu?” tanyanya tak mengerti.

“Maksud kami, apakah dia pernah memiliki masalah di masa lalunya? Yang sengaja disembunyikan dari banyak orang, entah itu di sekolahnya dulu, atau pun hubungannya dengan teman-teman dan keluarga.” Kali ini Cakra yang ambil alih dalam pembicaraan ini.

“Aku tidak tahu,” jawab wanita itu tanpa berpikir panjang, ia terlihat tanpa beban, karena dalam obrolan ini pun ia masih sempat menuang teh ke dalam cangkirnya dan menyesapnya perlahan.

Kening Dave mengernyit heran. “Tidak tahu?” ujarnya menirukan ucapan wanita itu, memastikan bahwa pendengarannya tidak salah. “Bagaimana Anda tidak tahu? Bukankah Anda ibu kandungnya? Seharusnya Anda yang paling mengenalnya.”

Sebuah senyum sinis yang menyebalkan terpampang di wajah Dania. “Anak-anak di dalam keluarga kami, tidak pernah diajari untuk menceritakan masalah-masalah sepele seperti itu. Mereka hanya diajari bagaimana caranya menyelesaikan masalah secepat mungkin dengan uang dan kekuasaan,” jawab wanita itu sembari menatap bergantian wajah-wajah heran di depannya.

 “Jadi, jangan tanyakan lagi masalah-masalah seperti ini ke depannya, karena aku dan keluargaku tidak tahu apa-apa. Jadi jika ada hal yang perlu ditanyakan, tanyakan saja pada kuasa hukumku, karena kami sudah menyerahkan semuanya pada mereka.” Perkataan itu membuat Dave dan Cakra tak habis pikir dengan jalan pikirannya.

Cakra ternganga seketika, tangannya diam-diam terkepal kuat. “Apa Anda bahkan tidak ingin mengetahui, siapa orang yang telah membunuh putri, Anda?” tanyanya. “Dan apakah Anda sama sekali tidak peduli dengan perkembangan kasusnya?”

Dania menatap Cakra tajam, kilat kemarahan terpancar jelas dari matanya. “Bahkan bagaimana cara dia mati, selama tidak mempengaruhi perusahaanku, tidak ada yang perlu dipedulikan.”

“Apa Anda benar-benar ibu kandungnya ... ?” lirih Cakra tak habis pikir, ia benar-benar mempertanyakan di mana sebenarnya letak logika dan nurani Dania sebagai seorang ibu atau bahkan manusia.

Wanita itu tak ambil pusing setelah telinganya mendengar hardikan Cakra, ia memilih menyenderkan punggungnya pada sofa dan membuang muka ke arah lain. “Pergilah, kalian hanya membuang waktuku.”

Dave memberi sedikit jeda untuk pikirannya yang saat ini rumit, ia terus memandang tajam pada wanita itu, sambil terus berpikir tentang betapa malangnya Mawar karena harus ditakdirkan memiliki ibu kejam sepertinya; terlepas apakah Mawar sendiri seseorang yang baik atau tidak, dia tetaplah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang dan bimbingan dari seorang ibu, agar bisa hidup sebagai seseorang yang memiliki hati dan pikiran yang bersih dan murni.

Wajah pria itu lantas bergerak menghadap Cakra, gurat-gurat kekesalan yang berusaha diredam terpampang jelas saat Dave memerhatikan air mukanya, ia lantas menarik tangan Cakra, memaksa pria itu untuk berdiri mengikutinya.

Perasaannya saat ini berbaur menjadi satu, antara kemarahan dan rasa miris. “Baiklah, kami akan pergi, maaf telah menyia-nyiakan waktu Anda untuk mengumpulkan uang,” sarkas pria itu, menatap Dania penuh rasa hardik. 

Ia lalu melanjutkan ucapannya, “Dan Anda, bukankah seharusnya Anda memperlihatkan sedikit kesedihan disituasi seperti ini. Tapi, kenapa saya tidak melihatnya sedikit pun di wajah Anda? Bukankah kesedihan terdalam seorang ibu adalah ketika kehilangan anaknya? Begitu pun sebaliknya?”

Wanita itu tersenyum sinis. “Kenapa saya harus merasa sedih? Ketika saya masih memiliki anak yang lain untuk meneruskan perusahaan. Jadi, apa yang perlu ditangisi?”

Deru napas Dave terdengar keras, tangannya terkepal kuat di samping tubuh. “Saya tidak bisa memahami orang-orang seperti kalian.”

“Kamu hanya perlu menjadi orang kaya untuk bisa memahaminya.”

Ia segera menggelengkan kepalanya. “Tidak,” jawabnya cepat. “Saya tidak ingin menjadi penggila uang seperti kalian.”

Dania tertawa renyah, seakan perkataan Dave barusan adalah sesuatu yang sangat lucu. “Itu karena kamu belum pernah memegang banyak uang. Karena aku percaya, bahkan orang paling bersih sekalipun akan lupa segalanya ketika diberi banyak uang, karena memang dasarnya manusia itu pencinta uang!”

“Anda sepertinya sulit membedakan, antara pencinta uang dan penggila uang,” balas Dave.

“Orang-orang yang mencintai uang tentu akan bekerja keras demi mendapatkannya, namun mereka masih mempertimbangkan berbagai hal ketika berusaha mendapatkannya, termasuk hidup orang lain. Tapi bagi penggila uang?" Ia tersenyum miris. "Tentu hanya ada keserakahan di benak mereka, karena mereka bahkan bisa menghalalkan segala cara demi mendapatkannya, termasuk mengorbankan perasaan dan hidup orang lain.”

“Dan kau, apa kau bahkan sadar, sudah mengorbankan perasaan bahkan hidup anak-anakmu sendiri ... ?”

***

“Sekarang aku mengerti, kenapa kau begitu membenci orang-orang kaya.”

Dave menoleh, menatap Cakra yang duduk di sebelahnya, terlihat kekesalan yang masih menyelimuti pria itu. “Kenapa? Apa kau juga ikut membenci orang kaya sekarang?” candanya, tangan pria itu lantas terangkat dan menoyor pelan kepala Cakra.

“Tidak juga,” jawabnya. “Karena tidak semua orang kaya berperilaku sepertinya, kan?”

Dave tak langsung menjawab, ia menghela napas berat dan membiarkan tangannya menggenggam setir mobil erat-erat. “Tapi semua orang kaya yang aku kenal berperilaku seperti itu,” jawabnya pelan, pandangannya jatuh ke bawah.

Cakra lantas terdiam, melihat ekspresi murung Dave membuatnya menjadi tidak nyaman. “Mungkin karena kau kurang banyak mengenal orang-orang kaya,” ujarnya. “Itu juga sebabnya kau masih miskin sampai sekarang, banyak-banyaklah bergaul dengan mereka, siapa tahu kau bisa kecipratan uang,” lontarnya penuh canda diiringi tawa jail.

Ia berharap bisa segera mengembalikan tawa Dave, dan itu berhasil, buktinya sekarang pria itu ikut terkekeh bersamanya.

“Kau mau aku pukul???” Ia segera mengepalkan tangannya dan mengarahkannya ke kepala Cakra, namun sialnya pria itu berhasil menghindar. “Kau harus berbicara lebih sopan pada orang yang lebih tua!” titah Dave sok serius.

“Kenapa?” tanya Cakra dengan wajah menyebalkan. “Bukankah kau hanya beberapa tahun lebih tua dariku? Kau bukan kakek tua yang harus aku hormati, kan?” ejeknya.

Dave yang mendengarnya hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan karena merasa kalah berdebat dengan bocah itu. “Oke, terserah kau ....”

“Kenapa masih diam?! Cepat nyalakan mobilnya, bukankah kau bilang kita harus pergi ke tempat lain?!” perintahnya bagaikan bos.

Dave yang sudah muak mendengar ocehan tak bermutu itu hanya bisa geleng-geleng kepala, meski ingin sekali rasanya menempeleng kepala Cakra. Ia pun segera menyalakan mesin mobil dan mengemudikannya keluar dari gerbang, dan di saat itu pula mobil mereka berpapasan dengan mobil lain yang ingin memasuki halaman rumah itu. 

Melalui kaca jendela mobil itu yang sepenuhnya turun, Dave bisa melihat seorang gadis berseragam SMA yang tengah duduk di kursi belakang, mereka saling bertatapan, mata gadis itu terlihat sendu dan dipenuhi kesedihan.

Dan entah mengapa ada perasaan mengganjal di hati Dave saat melihat mata gadis itu, seolah melalui sepasang matanya ia ingin mengatakan sesuatu pada Dave.

***

SMA Harapan Bangsa

“Aku harap pihak sekolah tidak menyebalkan seperti penyihir itu .... Huh, bukankah seharusnya hal ini diserahkan pada kak Derian? Dia dulu juga alumni dari sekolah ini, jadi setidaknya dia sudah sedikit mengenal orang-orang di sini, kan?” racau Cakra.

“Ya ...” balas Dave malas.

“Kakak? Bukankah kak Derian, rekan kita yang baru itu juga berasal dari keluarga kaya? Aku membaca berkasnya di hari pertama dia masuk, ayahnya seorang pebisnis besar. Apa menurutmu, dia juga orang seperti itu?” tanya Cakra tiba-tiba.

Lihat selengkapnya