Kantor Polisi
Waktu terus berjalan cepat, suasana masih sepenuhnya dikuasai heningnya larut malam, dalam gelap gulita yang tanpa jeda, hujan perlahan mulai sirna, hanya kesan basah dan aroma khas yang menjadi jejaknya.
Jarum jam terus berdetak, setiap detik yang berlalu tak ubahnya seperti neraka bagi bocah kecil itu. Selimut tebal yang menyelimutinya tak mampu menghalau serangan dingin yang menyiksa raga dan jiwanya, ia menggigil tak hanya karena hawa dingin, namun juga karena rasa takut yang teramat sangat.
Kilat petir yang kembali hadir turut serta membawa trauma berat yang baru saja ia alami, berkat kejadian mengerikan yang akan mempengaruhi kesehatan psikologisnya hingga dewasa nanti.
Dave kecil menutup kedua telinganya rapat-rapat, mencoba menghalau bunyi petir yang baginya sangat menyiksa, ia menangis dengan mata terpejam, hidungnya seakan mencium kembali bau darah yang semerbak dikala hujan. “Ayah!!! Ayah!!!” pekik anak itu seraya mengeluarkan air mata.
Seorang polisi muda yang sedang duduk bersamanya terlihat khawatir, ia sontak mencoba merengkuh anak itu dan menenangkannya dengan kata-kata. “Tidak apa, kamu sudah tidak sendiri lagi, tidak perlu takut ....”
Namun otak Dave seakan telah ikut beku, sehingga ia tak mampu merespons kata-kata itu, yang dapat ia lakukan hanya mengencangkan tangisannya dan meneriakkan kata “Ayah” tanpa henti—sungguh pemandangan yang menyayat hati, bahkan polisi yang tengah memeluknya tanpa sadar turut meneteskan air mata karena merasakan kepedihan.
“Ayah!”
“Ayah!”
“Arkana!”
Kelopak mata Dave sontak terbuka, sebuah respons saat anak itu mendengar suara wanita yang sangat familier di telinganya. Air matanya semakin berjatuhan, hatinya semakin teriris melihat ibunya ikut menangis bersamanya.
Anak itu langsung menghambur ke dalam dekapan sang ibu, memeluknya erat-erat seolah takut kehilangan sosok itu juga; ia terisak semakin keras.
“Aku takut .... Ayah sudah pergi ....”
Mendengar ucapan anaknya, hati Rani bagai disayat-sayat, ia sudah tahu kabar ini setelah sebelumnya mendapat telepon dari polisi, tapi mendengar anaknya menyampaikan kabar itu sendiri; kepedihan yang ia rasakan jauh berkali-kali lipat menyiksanya.
Tangisnya semakin mengeras, air matanya bercucuran tanpa ampun, ia semakin mendekap anak semata wayangnya erat-erat. “Ibu tahu ... ibu tahu. Jangan takut, ibu di sini ....”
“Jangan khawatir ... ibu akan membuat orang jahat itu masuk ke dalam penjara, polisi akan membantu kita ....”
Namun ... apakah hal itu benar-benar bisa terjadi? Akankah hukum yang ia percaya benar-benar bisa membantunya mendapatkan keadilan ....?
***
“Pak polisi! Pak polisi! Aku tidak bohong! Aku benar-benar melihat pelakunya malam itu! Tolong bantu ayahku ... !” mohon Dave dengan uraian air mata pada dua orang petugas polisi, yang saat ini tengah menyeret paksa dirinya dan ibunya keluar dari sana.
“Kami mohon! Hanya kalian yang bisa kami percayai saat ini! Tolong bantu kami!” Rani memohon penuh harap pada mereka, tangannya saat ini mendekap erat Dave kecil yang menangis sesenggukan dalam pelukannya.
“Bu! Berapa kali lagi kami harus memberitahu, Anda?! Jangan datang lagi ke sini! Bukankah kasus suami Anda sudah ditutup beberapa hari lalu sebagai kasus bunuh diri?! Dia sendiri yang lompat ke dalam jurang!” jengkel salah satu petugas membentak Rani dengan keras.
Hati Rani tersentak sakit mendengarnya, ia semakin berurai air mata. “Bagaimana bisa suamiku bunuh diri?! Jika anakku saja melihatnya mati dibunuh malam itu?!” pekik wanita itu penuh amarah, membuat Dave melepaskan pelukannya tiba-tiba. Ia menutup telinganya rapat-rapat, takut mendengar nada keras yang dikeluarkan sosok ibunya.
“Kalau begitu anak Anda pasti sudah berbohong!” bentak petugas lainnya.
“Aku tidak berbohong! Aku tidak berbohong! Aku sungguh melihatnya membunuh ayahku!” sentak Dave dipenuhi kemarahan, segala ketakutan yang menyergapnya tadi seolah hilang begitu ia mendengar perkataan petugas itu.
“Dengar, Nak! Apa pun yang kau lihat malam itu sebaiknya kau lupakan saja! Karena percuma memberitahu siapa pun, sekalipun aku ingin membantu aku juga tidak bisa berbuat apa-apa! Karena atasan sudah menyuruh kami menutup kasus ini!”
“Tapi, Pak!”
“Pergi!”
Tubuh Dave yang kecil seketika terpelanting, begitu polisi itu menghempas dengan keras tangan Dave yang mencoba menggenggam tangannya, seolah memang tak peduli, mereka berdua pergi begitu saja dan meninggalkan Dave serta ibunya, yang tengah bersimpuh dan saling memeluk satu lain dalam tangisan yang menghancurkan perasaan.
Hati Rani benar-benar hancur lebur dibuatnya, kepercayaan pada penegak hukum yang baru saja ia pupuk di dalam hati kini telah mati, bahkan sebelum sempat bertunas.
Tak ada lagi yang bisa ia minta bantuan untuk saat ini, satu-satunya harapan untuk meminta keadilan untuk mendiang suaminya pupus sudah.
Hanya nasib Dave kecil yang memenuhi pikirannya saat ini, bagaimana masa depannya nanti? Akankah dia kuat? Akankah mereka kuat? Akankah trauma berat yang menghantui itu bisa pergi?
“Dave ....”
Tangis anak itu terhenti sejenak, ia mendongakkan kepala, merespons panggilan lembut itu. “Pak Adrian ....?” bibirnya mengeluarkan suara lirih begitu melihat sosok polisi muda yang turut bersimpuh di hadapannya.
Petugas polisi yang Dave panggil “Pak Adrian” itu tersenyum lembut, meski senyuman itu tak mampu menutupi kesedihan yang terpancar dari matanya begitu ia memandang sepasang mata Dave yang diselimuti keputusasaan.
“Tak apa, jangan menangis ...” Ia menyeka lembut air mata Dave yang tak kunjung berhenti menetes.
Tangisan anak itu mengingatkannya kembali pada malam di mana ia pertama kali menemukan Dave tengah meringkuk kedinginan di tepi jalan, saat hujan tengah mengguyur dengan derasnya.
Ia langsung menyadari bahwa ada hal tak beres yang sedang terjadi, begitu melihat seorang anak tengah menangis seorang diri di tengah kegelapan jalanan sepi tanpa satu pun lampu penerangan.
Adrian bergegas membawa anak itu menuju motornya dan membawanya ke kantor polisi untuk memberinya selimut dan minuman hangat.
“Apa Bapak juga tidak bisa membantu ayahku ... ?”
Rasa iba menggelayut lagi, kesedihan sekaligus kemarahan sama-sama merajam hatinya saat ini. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri karena tak bisa membantu anak itu sama-sekali, ia malu menyebut dirinya sebagai polisi, karena bahkan keadilan pun tak bisa ia tegakkan mengingat statusnya yang saat ini sebagai penegak hukum, yang seharusnya membantu rakyat memperoleh keadilan yang setara; ia merasa tidak pantas sama sekali.
Pada akhirnya ia hanya mampu menangkup wajah anak itu, dan menatapnya dengan tatapan yang dipenuhi rasa bersalah. “Tumbuhlah dengan baik, jadilah anak yang kuat. Jika sudah besar nanti, kau bisa menjadi polisi yang jujur dan berani. Jangan menjadi polisi yang pengecut sepertiku! Tegakkan keadilan! Cari keadilan untuk ayahmu! Dan lindungi ibumu dari orang-orang jahat! Mengerti?”
Aliran air matanya terhenti, kata-kata itu tertanam di dalam otaknya. Anak itu menoleh ke arah ibunya; satu-satunya harta berharga yang saat ini ia punya tengah terdiam dalam cucuran air mata, pandangannya yang kosong dan tanpa arti sebagai isyarat awal bahwa kinerja otaknya yang waras saat itu perlahan mati.
Dave yang tak mengerti hanya mengira bahwa ibunya saat itu terlalu larut dalam keputusasaan.
Anak itu kemudian berbalik, dan menatap Adrian dalam segala kesanggupan. “Aku akan menjadi polisi yang jujur! Dan memberi keadilan untuk ayahku!”
Sementara itu, Derian kecil yang melihat semuanya dari kejauhan—mulai dari kejadian saat Dave dan ibunya diusir keluar hingga saat Dave mengikrarkan sumpahnya—hanya bisa terdiam dalam rasa bersalah yang mencapai puncak kejayaannya.
Anak itu sedang mengalami perang batin yang sangat hebat, pergolakan dari kedua kubu antara logika dan nurani benar-benar mengambil seluruh kewarasannya.
“Apa yang harus aku lakukan ... ? Apakah aku harus memenjarakan ayahku? Ataukah memenjarakan hati nuraniku?”
***
Hangatnya mentari pagi memeluknya erat, mengusir segala rasa dingin dari tetesan embun sekaligus hati yang membeku sekeras batu.
Tetesan air dari embun yang mengumpul di ujung daun menetes perlahan, dan membentuk lubang di cadas yang telah melunak akibat hujan yang meninggalkan jejak semalaman.
Matanya yang sembab tetap terjaga seperti sedia kala, malam panjang dan deras air hujan beserta tangisnya tak memperbolehkannya terlelap barang hanya sekejap.
Derian terpaksa duduk di bangkunya sembari menyandarkan kepala di atas meja karena kelelahan, luka menganga di dalam hatinya memaksanya tetap terjaga semalaman, rasa pedih itu terlalu menyakitkan untuk sekedar diabaikan.
Dia kini mencoba menghibur diri, dengan melihat hangatnya sinar mentari yang menembus dedaunan melalui jendela ruang kelasnya.