"Banyak hal yang datang tiba-tiba, ketika banyak rencana yang masih menjadi mimpinya."
*****
"Sangat enak ini, Bunda... uhukk!" Ia tercekat di akhir kalimat, sebab mulutnya masih penuh melahap opor ayam kesukaannya sebagai menu makan malam kali ini.
"Pelan-pelan dong sayang makannya," perintah Bunda Nana tersenyum mendapati kelakuan anaknya yang terkadang sedikit kekanak-kanakan.
"Iya, Bunda," jawab Neira terkekeh sesaat setelah meletakkan gelas itu di meja, lalu kembali menyuapkan makanan lezat itu dalam mulutnya.
"Mulailah belajar menjadi dewasa sepenuhnya, Nak, karena kau akan segera berkeluarga," terang Ayah Daniel yang sejak tadi hanya diam.
Bukan, beliau bukan sedang mengomentari soal Neira tersedak. Namun, tentang hal lain yang lebih membuat tenggorokan Neira tercekat.
"Uhhukk...uhhuukk!" Neira tersedak kembali makanan yang sedari tadi begitu dinikmati. Secepatnya ia mengisi air dalam gelas kosong tadi dan diteguknya sampai habis. Sedang otaknya masih bekerja untuk mencerna kalimat yang keluar dari mulut sang ayah.
"Ma-maksud, Ayah?" tanyanya terbata memastikan apa yang telah didengarnya. Sebelum pada akhirnya jawaban sang ayah tepat memukul detak jantungnya.
"Kau akan menikah!" sambung ayah dengan suara tegas yang dapat semua orang dengar. Neira melotot tak percaya dengan kalimat yang baru saja di tangkap pendengarannya.
"Me-men... menikah?" ucapnya terbata mengulang ucapan ayah masih dengan kondisi syoknya.
"Iya Nak, Ayah dan Bunda sepakat agar kau menjalin hubungan dengan anak dari sahabat karib kami."
Jadi... Perjodohan? Neira menarik napas dalam sebelum kembali bersuara.
"Tapi Ayah... Neira belum ingin menikah, apalagi harus dengan perjodohan. Aku tidak setuju. masih banyak rencana yang ingin aku wujudkan," sanggahnya menerangkan keinginan hati dengan sejujurnya.
"Bukankah kau sudah cukup umur dan sudah sepantasnya membina keluarga, lalu hidup bahagia, Ra? Kami sedang ingin mewujudkannya. Jadi bantu kami ya?" Suara lembut Bunda Nana terdengar memohon.
"Benar aku sudah cukup umur, tetapi..." Neira menjeda ucapannya sembari mengusap wajahnya frustasi. "Maaf, Bunda... apakah perjodohan adalah satu-satunya jalan untuk sebuah kebahagiaan?" Neira bukan bermaksud berkata lancang hanya saja ia tidak habis pikir, bagaimana sebuah perjodohan dapat menjamin kebahagiaan untuknya? Menjalin hubungan seumur hidupnya dengan landasan keterpaksaan. Dimana letak bahagianya?
"Jangan membantah Ra...kami tahu yang terbaik untukmu," tegas sang ayah dengan tatapan lekatnya, membuat nyali Neira menciut seketika.
"Ayah, Neira..." Neira sudah tidak mampu lagi meneruskan kalimatnya. Ia sangat terkejut, tertekan, sekaligus kecewa. Matanya berkaca-kaca dan tak terbendung lagi, hingga tangis meretas air mata mengalir di pipinya.
Ia mengambil langkah beranjak pergi meninggalkan bunda dan ayah yang sedang menatapnya dengan sorot mata tak terbaca. Emosi Neira berantakan karena situasi saat ini.
"Apakah kita tidak terlalu keras kepada Neira?" ucap bunda dengan ekspresi meragunya.
"Tidak ada cara lain, kelak dia akan mengerti apa yang sedang kita lakukan saat ini. Semua ini demi kebaikan dan kebahagiannya," Ayah berkata meyakinkan .
Tidak ada orang tua yang ingin menyakiti akannya, mereka hanya menginginkan yang terbaik untuk Neira. Meski terkadang dengan cara yang sebenarnya tidak diinginkannya. Neira sudah cukup dewasa untuk berkeluarga, umurnya sudah dua puluh lima tahun. Sebagai orang tua, mereka sudah sangat menginginkan Neira berkeluarga.
Agar ada yang menjaganya dan membahagiakannya. Menata hidup menjadi lebih baik, serta tentu segera memberikan mereka cucu. Itulah sejatinya cita-cita orangtua Neira, di usia senja mereka.
"Sayang..." Dielusnya lembut kepala Neira yang sedang menangis sesegukam dengan posisi tidur memiringkan badan membelakangi bundanya yang baru tiba dan duduk di tepi ranjang.
Neira hanya diam mencoba meredam perasaannya. Bunda sangat memahami puterinya akan berat untuk menerima semua rencana ini. Tidak ada sepatah kata lagi yang diucapannya, hanya belaian-belaian lembut penuh sayang untuk menenangkan anak gadisnya.
Sebelum pergi, diselimuti dan dikecupnya pelipis kiri Neira yang samar-samar terlelap karena pening dan lelah akibat menangis cukup lama.
****
Tubuhnya menggeliat ketika cahaya memasuki ruang sebuah kamar, menyilaukan mata bagi seseorang yang tengah tidur lelap.
Neira mengerjamkan mata beberapa kali menyesuaikan cahaya yang ditangkap retinanya. Merentangkan tangan dan berguling-guling di ranjang adalah kebiasaannya jika pagi menjelang.