Ada luka-luka yang tak terdengar, tapi menetap, tak berdarah, tapi menentukan arah.
Luka itu tak selalu datang dari kekerasan atau kehilangan besar. Ia bisa lahir dari ucapan yang diabaikan, dari pelukan yang tak pernah datang, dari harapan yang terlalu lama digantung sampai akhirnya menggantung diri di sudut hati yang sepi.
Aku mulai melihat bahwa luka bukan hanya sesuatu yang terjadi pada masa lalu. Ia adalah sesuatu yang masih hidup --- yang ikut duduk bersamaku saat aku membuat keputusan, saat aku mencintai seseroang, saat aku menilai diriku sendiri di depan cermin.
Dan aku tak sendiri.
Keysha pernah cerita bahwa sejak kecil ia terbiasa mendiamkan rasa kecewa. "Kalo aku sedih, aku diam. Kalo aku marah, aku menghilang" katanya. "soalnya kalo aku jujur, orang-orang malah menyuruhku kuat. Padahal aku cuman pengen didengar".
Aku paham sekali rasanya.
Sering kali luka bukan tak ingin sembuh, tapi tak diberi ruang untuk bercerita. Kita diajarkan untuk melupakan sebelum sempat memproses, untuk memaafkan sebelum sempat marah. Kita terburu-buru menutup luka, padahal yang tertutup belum tentu sembuh --- ia bisa bernanah di dalam, menjelma menjadi sinisme atau jadi sabotase terhadap hubungan-hubungan yang datang kemudian.