Keindahan hidup baru akan terlihat ketika ada keteraturan. Kutipan itu tertempel pada bagian teratas sebuah komputer. Letaknya tepat 45 derajat menghadap sebuah pintu. Tata letak itu disengaja agar pemiliknya dapat mengawasi ruang kerja atasannya dengan mudah. Sebagai sekretaris, Citra perlu bertindak efisien demi memastikan kebutuhan bosnya terpenuhi dengan cepat dan tepat.
Itulah sebabnya, Citra menumpuk dokumennya berdasarkan urutan prioritas. Jika fail teratas sudah selesai, ia memindahkannya ke tumpukan lain sebelum melaporkannya ke atasan. Meskipun pekerjaannya tidak dapat digolongkan sedikit, meja kerjanya justru jauh dari kata kacau. Kertas pengingat tertempel dalam bentuk yang lurus dan rapi.
Citra tidak mengalihkan pandangan dari komputer di depannya. Ia masih harus mengirimkan undangan rapat kepada dua orang lagi. Rambut panjangnya yang dikuncir ekor kuda bergoyang-goyang seiring dengan gerakan kepalanya yang ke kiri dan kanan. Itu kebiasaannya sewaktu membaca dalam hati sambil mulutnya komat-kamit melafalkan bacaan itu. Tangannya lincah mengetik. Tidak lama kemudian, notifikasi pertanda pesan telah terkirim berbunyi. Senyum pun terukir di wajahnya.
“Mbak Citra!” seru seseorang.
Citra mengangkat kepalanya dan menemukan pemilik suara itu telah berdiri di sampingnya. “Eh, Tika,” sapanya.
Tidak lagi dalam posisi mengetik, Citra baru menyadari kalau punggungnya terasa kaku. Ini pasti karena ia sudah berada dalam posisi tersebut sedari pagi tadi. Refleks, ia merenggangkan tangan berharap dengan demikian ia merasa relaks sesudahnya. Namun, itu tidak berlangsung lama. Pasalnya, Citra kembali menegakkan tubuhnya seolah-olah siap siaga untuk menjalankan tugasnya kembali.
“Aduh, Mbak Citra capek, ya? Apa nanti setelah istirahat saja, ya?” tanya Tika ragu-ragu.
Citra melirik jam dinding yang berada dalam jangkauan pandangan matanya. Jarum pendek menunjuk angka dua belas, sedangkan jarum panjangnya sedang mendekati angka satu. Meskipun jadwal istirahat makan siang telah tiba, Citra tidak mau menunda-nunda. Oleh sebab itu ia berkata, “Kenapa? Sudah, sekarang saja.”
Bukannya langsung mengutarakan maksudnya, Tika justru menarik kursi yang berada di dekatnya untuk duduk berhadap-hadapan dengannya. Aksinya itu menyebabkan salah satu notes tempel tercerabut dari rekatan. Citra membetulkan letak kertas pengingat tersebut. Tulisannya terbaca dan langsung memenuhi pikirannya.
“Orang dari Fiber Batavia menelepon, Mbak.”
“Terus?” tanya Citra sembari pandangannya berganti-ganti antara notes dan Tika.
“Aku nggak tahu harus ngapain. Jadi, aku bilang mereka supaya menelepon balik setelah istirahat makan siang.”
Citra mengembuskan napas panjang. Tidak seharusnya Tika mengganggunya untuk perkara yang belum jelas seperti itu. Ia sampai tidak tahu hendak merespons apa atas laporan rekan kerjanya yang bertugas sebagai resepsionis itu.
“Mungkin soal tagihan internet, ya, Mbak?” tanya Tika karena memang Fiber Batavia adalah penyedia jasa internet.