Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #2

2. Drama Kebaya

Ada alasan mengapa Citra meminta kancing kebaya diletakkan pada bagian depan. Ia tidak terbiasa menunjukkan bagian pribadinya kepada orang lain, meskipun itu kepada sesama perempuan. Oleh karena itu, ia menggelengkan kepalanya pertanda ia bisa mengepas kebaya itu sendiri saja.

Memasuki ruang ganti, ia melepas blazer dan kemejanya dan memandangi pantulan tubuhnya pada cermin. Citra tidak pernah menyukai bentuk tubuhnya yang menurutnya aneh itu. Jangan salah, ia tergolong sehat. Hanya saja, standar kecantikan di Indonesia tidak akan memasukkannya ke dalam kategori perempuan cantik. Tidak mau berlama-lama, ia mengepas kebaya pengantinnya.

Tapi, kok? Kecurigaannya timbul sewaktu menyaksikan bagian depan kebaya tersebut pada cermin. Ia mengenyahkan kekhawatirannya itu dan mencoba mengaitkan kancing kiri dan kanan. Bentuk kancingnya bulat dan timbul. Namun, entah kenapa ia tidak mampu menyambungkan keduanya. Hati Citra mulai gelisah.

Ia memeriksa lebih teliti dan menemukan kalau selain kancing bulat, bagian dalamnya juga dilengkapi dengan kancing tarik dari bagian pinggang ke dada. Ia mengaitkan resleting terbawah. Akan tetapi, kancing itu tidak dapat menutup bagian pinggangnya. Citra mencoba lagi dengan mengempiskan perutnya.

“Aaah,” jeritnya pelan sewaktu bagian ritsleting yang runcing menjepit lemak perutnya.

“Kak Citra!” panggil Karyawan Toko dari luar. “Aman?”

Dengan hati-hati, Citra membebaskan daging perutnya dari ritsleting. Ia harus rela menerima kalau aksinya itu menimbulkan bekas merah pada kulitnya tersebut. Keningnya berkerut karena tidak menyangka kalau kebaya itu tidak muat di badannya.

Dengan masih mengenakan kebaya yang tidak terkancing, Citra mengamati perutnya yang menonjol. Ia mencubit-cubit lemak di bagian tubuhnya itu dengan perasaan kesal.

“Kak Citra?!” panggil Karyawan Toko untuk yang kedua kali.

Citra menyadari kalau ia berada di tempat umum. Ia menggigit bibirnya demi menahan diri. “Iya, sebentar,” jawabnya dengan suara parau.

Citra melepaskan kebaya dan mengenakan kemeja serta blazernya kembali. Sekeluar dari kamar pas, ia menyerahkan kebaya kepada Karyawan Toko dan cepat-cepat berlalu.

“Eh, Kak… Kak Citra!” panggil Karyawan Toko.

Citra mengabaikan panggilan itu. Tenggorokannya menyumbat segala jenis emosi yang menuntut untuk segera ditumpahkan. Tidak, ia tidak boleh mengalah kepada perasaannya itu. Namun, ia juga tidak tahu bagaimana mengatasi ketidakteraturan yang mendadak muncul di hadapannya itu. Pergi dari tempat itu sesegera mungkin, hanya itu yang terpikir olehnya.

***

Ia sendiri sudah terlambat sewaktu mengepas busana pengantin di Gedung Kebaya by Rayya. Oleh sebab itu, sebuah hal yang normal ketika ia kembali ke kantor sewaktu jam dinding menunjukkan angka dua dan sembilan. Ia terlambat.

Sebelum duduk di kursinya, Citra mengintip ruang kerja bosnya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Untuk sesaat, ia bernapas lega. Ia tidak perlu menjelaskan mengapa ia menghabiskan waktu yang lebih lama untuk makan siang.

Ah, kejadian sewaktu ia mengepas busana pengantin membayangi kepalanya. Hati Citra kembali tidak tenang. Rencananya hari ini tidak berjalan dengan mulus. Ia tidak boleh berlama-lama berkutat dalam kekecewaan. Seraya mendaratkan bokongnya, pikirannya sudah berkelana mencari cara untuk mengembalikan keteraturan yang sempat terganggu itu.

Lihat selengkapnya